Jumat, 19 Juni 2009

Pemimpin Tanpa Karakter

Kepemimpinan adalah gabungan antara strategi dan karakter,
tetapi apabila kita harus memilih salah satu, maka pilihlah yang kedua.
(Jendral H. Norman Schwazkoft)

Sekali lagi, ini hanya suara dari kegelisahan yang menghinggapi seorang yang jenuh atas kondisi bangsanya. Ia berharap sesuatu lain yang dapat dijadikan penopang punggung rakyat ketika kelelahan mulai menghingapi keseharian mereka. Betapa tidak, sehari-hari mereka menjalani kehidupan berbagsa yang amburadul sampai-sampai sulit untuk membedakan kita sedang dalam lindungan Negara atau tidak, sedang dalam proses berbangsa atau tidak, sedang membangun dan mengembangkan budaya atau malah menurunkan derajat martabat kemanusiaan. Keadaan ini semakin diperparah dengan kekosongan jiwa-jiwa ponolong dan semangat maju bersama dalam kesetaraan, para pemimpin seakan telah kehilangan roh pembimbing untuk melanjutkan tanggung jawab mereka, melaksanakan amanah yang dibebankan rakyat diatas pundak mereka.
Baiklah, akan kita mulaipembahasan ini dengan menginggat masa lalu, mari sejenak kita menoleh kembali ke gelora reformasi yang pada tahun 1998 menjadi teriakan layak jual, disuarakan dan layak konsumsi untuk semua usia. Dimana suara perjuangan, pemberontakan dan kelelahan mendominasi keakutan pemikiran saat itu, dalam pemikiran mahasiswa semua bercampur aduk antara subjektifitas semangat pembaharuan dengan emosi zaman yang menjadi symbol kebangkitan bangsa Indonesia. Pada saat itu, kita hanya merubah kulit luarnya saja tanpa sekalipun menyentuh dasar filosofis perubahan Itu semua terjadi karena kita belum mempersiapkan pemimpin yang menjadi patokan dan symbol perubahan. Memang untuk kesekian kali, kita berusaha bangkit dari kelelahan total atas suatu orde, dari orde lama meloncat ke orde baru, dari orde baru meloncat ke orde reformasi, sampai nantinya kita akan menemukan bentuk sintesis yang sesuai dengan karakter dan jiwa bangsa ini.
Memang, pada setiap orde dominasi kekuasaan seakan terpusat kearah satu titik dengan ketergantungan penuh sekoci kuasa kecil pada induk pemegang kebijakan tertinggi. Sekoci-sekoci tersebut nyaman berada dalam lindungan kapal induk kekuasaan, sehingga ketika terjadi kekacauan dari kapal induk secara otomatis mereka juga langsung menerima dampaknya. Seperti itulah gambaran setiap orde yang kita lalui sebagai proses berjalan suatu bangsa. Namun, nampaknya kita perlu berefleksi total atas yang terjadi kemarin, ketika setiap perubahan yang kita perjuangkan berakhir dengan kebobrokan yang tidak kalah dengan kebobrokan yang kita robohkan.
Mengapa?
Secara de facto, kegagalan tersebut dikarenakan kita tidak mempunyai amunisi berupa pemimpin yang cakap dan pantas, karena setelah dilakukan penghancuran atas suatu tatanan, maka yang dibutuhkan adalah pembangunan baru secara berkelanjutan, dan hal tersebut hanya akan berjalan ketika pemimpin yang disiapkan untuk mengisi tempat kosong tersebut mampu menjalankan peranannya.
Perlu disadari bahwa pada saat semangat berubah dengan tanpa meggandaikan kekuatan dan kemampuan adalah sama juga bohong, begitu juga perubahan tanpa menggandaikan aspek kekontinuitas adalah percuma alias sia-sia. Kita begitu terpukau oleh bayangan masa depan sehingga cenderung melupakan bahwa pada perubahan itu sendiri butuh masing-masing persiapan sebagai batu pijakan untuk melakukan lompatan perubahan ke depan, tanpa persiapan itu, kita hanya berputar atau bahkan malah balik kucing kearah sebaliknya. Oleh karena itulah keberadaan pemimpin “the right men in the right place” sangat dibutuhkan untuk membangkitkan dan mengaktualkan kembali potensi bangsa yang sudah lama tertidur. Dan hal ini membutuhkan jiwa kepemimpinan yang mampu mengilhami pemimpin kita agar berbuat yang terbaik untuk bangsa ini, Indonesia.
Semua bermula dan berjangkar pada pemimpin yang berjiwa kepimimpinan, jiwa yang mampu mempertanggung-jawabkan sikap dan kebijakan yang telah diambilnya dengan konsekuensi positif, bukan penyikapan negatif atas kesalahan yang telah terjadi, dalam bentuk penyesalan lalu mundur dengan meninggalkan luka dan banyak cacat yang menjadi pemberat bagi langkah selanjutnya. Sekarang kita akan membahas menggenai bagaimana harusnya pemimpin, seperti apa jiwa kepimimpinan yang harusnya terdapat dalam diri para pemuka bangsa untuk dapat memicu pergerakan progresif bangsa kearah positif, hingga kedepannya mampu dilihat bayangan indah sebuah negeri yang penuh dengan tawa riah kemenangan dari para pesakitan masa lampau.
Kepemimpinan adalah suatu seni mengendalikan orang-orang dalam organisasi agar supaya perilaku mereka sesuai dengan perilaku yang diingini oleh pemimpin organisasi, dimana unsur-unsur yang bermain didalamnya adalah adanya orang dipengaruhi, orang yang mempengaruhi dan orang yang memperngaruhi mengarahkan kepada tercapainya suatu tujuan (Sunindia & Widiyanti, 1998 : 4-5).
Untuk itulah dibutuhkan kesatuan dari ketiga unsur tersebut, keharmonisan dan keselarasan. orang dipengaruhi (rakyat) menjadi lapisan terbawah dari susunan piramida negara, yang berfungsi sebagai pondasi atas bangunan diatasnya. Orang yang mempengaruhi (pelaksana pemerintahan) menjadi lapisan tengah sebagai perantara dan penghubung lapisan atas dengan lapisan yang ada dibawahnya. Kemudian orang yang memperngaruhi mengarahkan kepada tercapainya suatu tujuan (pemimpin) sebagai pengarah dan pembuat kebijakan yang selayaknya mampu mewadahi seluruh lapisan dibawahnya dan meng counter segala kemungkinan yang mungkin timbul dari susunan piramida ini kemudian mengarahkan mereka kearah apa yang menjadi tujuan utama.
Oleh karenanya pemimpin dituntut untuk memiliki jiwa beradab, sebuah keadaan kepribadian dimana prinsip-prinsip kemanusiaan dipertaruhkan, bukan hanya dalam ranah individu, namun juga merembet kearah sosial. Lebih jauh lagi mampu menyikapi kondisi dan situasi dilematis tentang keberadaan segala kemungkinan yang timbul dari gesekan antar bagian negara. Yang penting bagi kita pemimpin adalah peka terhadap munculnya alasan-alasan, mampu menganalisisnya dan cakap mengatasinya (Keating, 1988 : 65).
Presiden pertama Negara ini, Sukarno, berani bersikap dengan karakter ketegasan dan harga diri kebangsaan yang tinggi untuk menolak bantuan luar negeri yang menurutnya akan membawa dampak buruk terhadap bangsa ini. Ia menggatakan “go to hell with your aid”, meskipun itu harus dibayar mahal dengan rengangnya hubungan dengan Negara pemberi bantuan. Disini kita melihat bagaimana karakter seorang pemimpin yang berpihak pada harga diri kebangsaan dan berkemauan keras untuk menumbuhkan sikap mandiri dan berdikari pada bangsanya.
Juga diperlukan kelihaian pemimpin dalam menyelesaikan konflik internal yang terjadi akibat gesekan antar bagian dalam struktur kekuasaannya. Karena hal ini akan berakibat fatal jika tidak mampu disikapi secara arif, namun juga akan berubah menjadi suatu kekuatan persatuan jika pemimpin tersebut mampu mengolah gesekan yang muncul tadi. Sesudah ketegangan diatasi, saling kepercayaan antara anggota dapat meningkat dan kerja sama serta hasil kerja sama mereka juga tambah baik, penyelesaian ketegangan kerap merupakan gabungan untuk memecah masalah dan menggadakan konfrontasi (Keating, 1988 : 43)
Seorang pemimpin juga harus berakhlak mulia, mempunyai empati kepada orang lain (yang dipimpin), dapat menghargai dan mengikutkan mereka dalam proses bernegara, bukan hanya dijadikan sebagai aspal untuk melicinkan kepentingan sesaat pemimpin. Cukuplah kenyataan yang memperlihatkan pada kita bagaimana pemimpin yang diharapkan menjadi pengayom dan pelindung malah menjadi pagar makan tanaman, sehingga akan semakin menambah ketidak-percayaan dari mereka yang dipimpin dan pastinya akan berimbas pada kerelaan mereka untuk mengikuti instruksi pemimpin dan kesuksesan program yang telah dicanangkan sebagai kebijakan pemimpin. Dengan empati, kita (pemimpin) akan mampu untuk mengerti dan memahami seseorang (yang dipimpin) sedalam-dalamnya baik secara emosional dan intelektual (Riyana&Pamekas, 2000 : 69).
Ada sebuah serat jawa “Wulang Reh” yang ditulis oleh Sri Pakubuwono IV, didalamnya menggungkapkan bagaimana pemimpin sejati. Adalah seorang yang dapat memimpin dirinya sendiri, memimpin dengan nuraninya. Ia tidak akan mengedepankan tumpah darah, namun ia akan menggedepankan cinta dan kasih saying sebagai senjata ampuhnya (Agum Gumelar, 2007 : 10) dalam prolog buku Javanese Wishdom.
Kekayaan khazanah budaya nusantara akan nilai-nilai positif haruslah kita hargai sebagai suatu yang harus digali terus menerus-menerus, seperti dalam Wulang Reh, ternyata didalamnya hakikat jiwa pemimpin adalah seorang yang mampu menghadapi dan bersikap bijaksana, waspada, hati-hati dan mengutamakan pendekatan emosional terhadap yang dipimpin, bukan hanya itu seorang pemimpin dituntut memiliki spiritualitas yang tinggi. Dimana spiritual tersebut bermakna sebagai pembangkit dan pengayom jiwa pemimpin, ketika jiwa tersebut tidak dilatih dan dibina, maka yang terjadi adalah kesewenangan dan keinginan berdasar nafsu angkara murka. Oleh karenalah, seorang pemimpin wajib untuk membina spiritualnya sedemikian rupa untuk menjamin bahwa roh dan jiwa kepemimpinannya bersih dan murni sebagai salah satu usaha untuk tetap menjaga turunan sikap yang juga berlandaskan nilai-nilai keluhuran dan kebijaksanaan kepemimpinan.
Memang dalam menumbuhkan jiwa kepemimpinan tidak bisa sekejap, tidak semudah membalik telapak tangan, namun perlu proses pendidikan yang sangat panjang. Disinilah letak peranan yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan, dan UGM termasuk didalamnya, disini yang kita lihat lihat adalah kebijakan universitas yang kiranya dapat mendukung program besar penumbuhan jiwa kepemimpinan mahasiswa yang nantinya diharapkanmampu melahirkan pemimpin handal progresif, berwawasan jauh kedepan serta mampu melihat dan menyikapi masa depan, namun tetap dalam bingkai kepribadian sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia Indonesia. Dengan kata lain “kepala keatas ruang angkasa, namun kaki tetap berpijak dibumi pertiwi”.
Banyak kebijakan yang seakan membatasi ruang gerak mahasiswa untuk dapat mengembangkan jiwa kepemimpinan, bagaimana mungkin seorang mahasiswa mampu memenuhi tuntutan untuk mengembangkan diri dan membentuk karakter sosial jika hari-harinya selalu diisi dengan beratnya beban kuliah. Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang kuliah dengan biaya sendiri? Atau mahasiswa yang mempunyai bakat dan minat yang dalam pada non-akademis? apakah mereka dianggap bodoh, hanya karena IPK rendah, padahal disalah satu sisi mereka harus mengharus berfikir dobel untuk melanjutkan kuliah mereka.
Memang terdapat beberapa “penjahat akademis” dalam setiap angkatan mahasiswa, merekalah yang rela menjadi tumbal dari kebijakan yang dirasa memberatkan mereka, mereka ingin membentuk diri mereka seperti yang diinginkan. Memang ketika mereka melakukan itu, entah disadari atau tidak mereka pun melupakan tugas belajar untuk menumbuhkan wawasan mereka akan arti penting sebuah pendidikan formal.
Bukankah setiap kita makhluk beradab dan bermartabat atas manusia yang lain? Jika ya, mengapa harus terjadi penistaan dan penyingkiran, bahkan pembunuhan karakter.
Adakah yang salah dengan pendidikan kita, yang selalu saja menyebabkan lulusannya bermental inlander, tidak berkarakter dan tanpa jati-diri. Out-put yang dihasilkan hanya berupa sekelompok orang ber-IP tinggi yang tak jarang mempunyai kelemahan mental dan karakter. Atau mereka dengan kepandaian dan keilmuan yang diperoleh dalam tataran akademis yang hanya mampu diam melihat ketidak-mapanan dan penindasan sistem maupun ideologi penyiksa. Mereka baru akan berbicara jika itu menghasilkan keuntungan bagi kepentingan pribadi mereka.
Tidak ada salahnya kita merenung sejenak atas pokok permasalahan daripada keterbelakangan kita dan superior bangsa lain atas kita. Ketika terbesit kebodohan dalam nurani kita, cerminan tradisi masyarakat kita yang berperan dalam penghambatan perkembangan pendidikan bangsa kita dari ilmu mental jongos, buruh dan tentunya konsumtif.

Daftar Pustaka
Sunindhia, Dra. Ninik Widiyanti, 1998, Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern, Bina Aksara, Jakarta.
Erry Riyana, Hardja Pamekas, 2000, Esensi Kepemimpinan Mewujudkan Visi menjadi Aksi, Elek Media Komputindo, Jakarta.
Keating Charles J, 1988, Kepemimpinan, Teori dan Pengembangannya, Kanisius , Yogyakarta. (trj: A.M. Mangunhardjana) dari judul asli: The Leadership Book, 1992, Paulist Press, New York.
Webe Agung, 2007, Javanese Wisdom, Berfikir dan Berjiwa Besar, Penerbit Indonesia Cerdas, Yogyakarta.

EKSISTENSI SEBAGAI INOVASI DALAM KRISIS EKONOMI GLOBAL

“kesadaran akan kekacauan dirinya,
menyebabkan manusia menjadi tragis, tetapi bukan murung”
(Albert Camus)

Pernahkah terlintas dalam benak bahwa betapa hidup ini sungguh tidak sesuai dengan harapan dan kemauan kita, mulai dari pagi saat membuka mata, sampai pada malam beranjak tidur, sungguh penuh dengan berbagai hal yang membuat kita terenyuh, terheran dan terlebih lagi “tragis”. Penuh masalah, ketidak-mapanan, konflik dan gesekan. Seakan semua itu telah menjadi warna yang menghiasi hari-hari, selalu dan selalu ada hal yang tidak kita inginkan. Tidak peduli siapapun dan kapanpun, bosan dan jenuh pasti menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidupnya, dan menjadi tonggak keberadaan diri sebagai manusia.
Sekarang mari kita telaah lagi, bagaimana yang tidak jelas dapat menjadi bagian tak terpisahkan dalam diri dan mengapa harus selalu begitu absurd dan selalu memuakkan. Hidup dipenuhi oleh permasalaha yang selalu menghiasi kedadaran kita. Dalam kontruksi kesadaran diri yang terlihat utuh dan kokoh, sebenarnya terdapat kekeroposan dan keheranan yang membuat hidup terasa makin absurd. Hal itu memang yang kita rasakan pada diri kita, namun sekarang konsep absurd tersebut akan lebih dikembangkan, menjadi lebih luas dan variatif.
Ditengah kondisi yang memprihatinkan atas yang menimpa bangsa ini. Krisis ekonomi berkepanjangan, belum pulih luka akibat krisis financial beberapa tahun yang laul sudah dihantam lagi oleh krisis ekonomi global yang diakibatkan oleh krisis properti negeri paman san, kita seakan terjepit diantara tebing-tebing tinggi yang penuh dengan batu terjal, namun itu yang harus kita lewati jika ingin sampai pada puncak tebing itu. Perlunya pendasaran atas pemikiran yang nantinya akan melahirkan inovasi-inovasi baru dan mampu mengokohkan keberadaan kita sebagai bangsa yang mandiri dan mampu berdikari.
Ketika krisis ekonomi ini telah menjadikan manusia dengan keculasan dan kecurangan tanpa nurani, beragam sikap memuakkan orang disamping kita dengan kesombongan harta untuk menginjak dan meneror kawan. Orang kaya dengan segepok uang yang tak jelas asal-muasalnya mencoba berdiri diatas perut lapar sang fakir-miskin, dengan gigi putihnya terbuka dalam terbahak-bahak ia menunjukkan bahwa betapa kuatnya kekuasaan kapital dalam hidup yang makin hari makin absurd dan memuakkan. Dengan pongahnya, mereka mengekarkan tangan yang penuh dengan lemak untuk mencengkeram harta yang dianggap akan menemani dan menolong mereka dalam situasi apapun. Jenuhkah mereka yang merasa diatas angin kebebasan uang? Tentu tidak, Karena seakan mereka dilahirkan untuk menjadi kenyang ditengah paceklik panjang nurani kemanusiaan.
Albert camus, seorang filsuf eksistensialis menyatakan bahwa terdapat konflik mendasar antara apa yang kita inginkan dari alam semesta dan apa yang kita temukan di alam semesta. Tidak ada sesuatupun yang sesuai dengan kemauan kita, biarpun kita telah berusaha mewujudkannya. Disinilah alasan utama mengapa kita harus berani bersikap atas semua kenyataan, karena tidak ada yang sempurna dan kita harus selalu berproses menuju kesempurnaan. Ditengah kondisi ekonomi yang carut marut, bukti bahwa kita masih mampu berdiri tegar dan sanggup bersikap adalah bukti nyata kemanusiaan kita.
Camus membuka pertanyaan, apakah ini terakhir kesimpulan bahwa hidup ini selalu berarti mengarah ke satu komit bunuh diri. Jika tidak memiliki kehidupan yang berarti, tidak berarti bahwa kehidupan adalah tidak pantas hidup? Camus tertarik dalam mengejar ketiga kemungkinan: bahwa kami dapat menerima dan hidup di dunia tanpa arti atau tujuan. Kondisi apapun yang tercipta harus mampu disikapi, meskipun itu adalah kepahitan mutlak dan kelelahan yang akan kita rasakan. Kita harus tetap tegar dalam kondisi apapun untuk membuktikan bahwa kita adalah manusia. Putus asa, apalagi melarikan diri adalah hal paling hina bagi harkat dan martabat manusia, apapun yang terjadi dalam Negara ini. Biarpun krisis ekonomi yang telah lama menempel dan menghantui, kita harus mampu bersikap dengan inovasi baru sebagai bukti eksistensi kita.
Atas segala keabsurdan kondisi dan situasi, kita tidak boleh menyerah, apalagi berkata bahwa kita sepakat bahwa kerusakan ini disebabkan sesuatu diluar diri kita, kita haruslah menyadari bahwa yang kita jalani sekarang adalah sebuah pertarungan harga diri dan martabat manusia, jika kita menyerah pada kondisi ini, maka kita tak ubahnya seperti pecundang yang hanya mampu meratapi kekalahan, kepahitan dan ketidakmampuannya
Jika memang seperti itu maka ada yang salah dalam diri ini, sehingga selalu saja kehendak dan kemauan menjadi hampa, seperti udara beracun “segar mematikan”. Sepertinya kotak hati ini selalu dipenuhi beragam kesalaham sistem berfikir dan menalar, nurani yang bersih dan suci tak lagi mampu mengimbangi kuatnya dorongan arus nafsu dan otoritas patriarki-rasional. Seakan kemauan dan kehendak menjadi tanpa arti ketika dihadapkan pada setumpuk realita yang membusukkan harapan, membusukkan pemikiran atas kesadaran yang mulai direduksi oleh lingkungan tempat serigala-serigala memasang wajah manis tanpa dosa.
Karena manusia hidup dengan absurd, Camus menyarankan agar manusia memelihara kesadaran tersebut. Menghadapi ketiksesuaian tidak memerlukan dengan melarikan diri atau malah bunuh diri. Namun, sebaliknya memungkinkan kita untuk hidup dengan kehidupan yang penuh semangat pemberontakan atas kenyataan yang ansurd. Inilah yang menjadi roh utama dari tulisan ini, kita tidak harus menyerah (meski tidak seekstrim bunuh diri) pada kenyataan ini, bahkan kita harus memberontak dengan segala kemampuan yang ada untuk mennjukkan bahwa kita ada dan debagai pengada yang mampu bersikap terhadap apapun pengaruh dari luar. Krisis ekonomi ini adalah tantangan nyata dalam kehidupan, apakah kita akan memilih lari atau bertarung dengan kesungguhan hati dan semangat.
Memang ada yang salah dalam realita ini, jika selalu saja usaha dan upaya yang dilakukan berujung pada kekosongan persona atas kehendak dan kebebasan. Kehampaan udara kebebasan makin memaksa kita untuk menghirup racun tirani bentukan kapitalis-borjuase, yang sebelumnya telah lebih dahulu disusupi angin ketergantungan atas ketiakmampuan kita melawan kenyataan. Terbentuk dari remah-remah feodalis pemuja kebangsawanan dan kematian yang fakir. Namun sekali lagi, ini bukan saatnya untuk berbincang tentang kepusasaan dan melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani berdiri dan menantang segala yang ada didepan kita. Krisis ekonomi ini adalah ajang pembuktian kita sebagai manusia yang berkehendak, mengada dan sebagai pengada yang produktif.
Pemberontakan lahir dari kesaksian atas sesuatu yang tidak rasional dan dihadapkan pada sesustu yang tidak adil serta kondisi yang yang tidak dapat dipahami, namun dengan naluri tanpa pertimbangan yang dimiliki pemberontakan adalah menuntut keteraturan ditengah kekacauan dan persatuan ditengan kecerai-beraian. (Camus, 1988 :40)
Sebenarnya, patutkah kita menyalahkan orang lain atas kerusakan, kebrobrokan dan keterbelakangan dalam diri kita?. Jika memang itu patut, maka kita tak ubahnya seperti keledai dungu yang terjatuh dilubang dalam tanpa usaha untuk keluar dari lubang tersebut, hanya sibuk mengumpati lubang dan mencaci nasib yang tidak pernah memihak padanya. Namun lain halnya jika menjawab tidak, yang salah dari keterbelakangan adalah kita sendiri, maka kita akan terus mencari dan berusaha menapaki dan menembel lubang yang ada.
Tentu saja tidak, kita harus menanggung ini sebagai rangkaian dari segala perbuatan dan apa yang telah kita ciptakan sebagai pengada. Karena persona yang ada dalam diri kita akan selalu menuntut untuk kita selalu bersikap dalam kondisi bebas. Kebebasan bersikap dalam bidang ekonomi merupakan salah satu bukti eksistensi kita, mampu menciptakan kondisinya sendiri dan membuat dunianya sendiri, inilah yang sering disebut sebagai mandiri dan berdikari, yang harus kita perjuangkan sebagai bukti tanggung jawab kita pada diri kita.
Karena kebebasan bukanlah hadiah yang diberikan suatu Negara atau seorang pemimpin, tetapi hak milik yang harus diperjuangkan setiap hari oleh semua orang dengan tetap memelihara kesatuan (Camus, 1988 : 77). Maka dari itu kebebasan ekonomi yang menjadai hak kita haruslah kita perjuangkan tanpa lelah sebelum kita mampu menjadi subjek ekonomi yang bebas berkehendak.
Camus mengidentifikasi tiga karakteristik yang mustahil kehidupan pemberontakan, kemurnian, kita tidak boleh menerima atau rekonsiliasi dalam perjuangan. Kebebasan, kita benar-benar bebas untuk berpikir dan bersikap seperti yang kita pilih dan inginkan. Semangat, kita harus mengejar kehidupan yang kaya dan beragam pengalaman. Dalam artian bahwa kita tidak boleh menerima kondisi krisisis ini sebagai suatu keharusan, namun kita wajib memberontak atas keadaan ini.
Pemberontakan memprotes, menuntut dan mendesak agar segala yang tidak benar segera dihentikan dan semua yang saat ini dibangun diatas pasir lunak dipindahkan keatas pondasi batu karang (Camus, 1988 :40).
Haruskah kita merendahkan diri kita dengan diam saja ketika berhadapan dengan kondisi dan keadaan yang buruk, jika itu terjadi mungkin kita harus mempertanyakan lagi, apakah kita masih pantas disebut manusia? Karena manusia adalah subjek, persona yang bebas dan berkehendak.
Perlunya pendasaran atas pemikiran yang nantinya akan melahirkan inovasi-inovasi baru dan mampu mengokohkan keberadaan kita sebagai bangsa yang mandiri dan mampu berdikari dalam percaturan ekonomi dunia. Inilah yang mengilhami tulisan ini.


Daftar Pustaka
Camus Albert, 1999, Mite Sisifus, Pergulatan Dengan Absurditas (trj: Apsanti D), Gramedia, Jakarta.
Camus Albert, 1988, Krisis Kebebasan (trj: Edhi Martono), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Driyarkara Nicolaus. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta. Gramedia.

Kembang

Baiklah, akan sedikit kami ceritakan tentang bagaimana seharusnya membangun dunia mimpi, dengan tujuan agar setiap orang dapat selalu mencintai mimpi-mimpinya;
Langkah pertam yang harus dilakukan adalah membangun wahana yang menyisihkan semua kesedihan “termasuk” keluarga, teman bahkan masalah keagamaan

Eh lah mboh

Pokoe kaya gini

Bangun sebuah dunia, dimana bayang “ia” pun tak ada

ATOMISME LOGIS BERTRAND RUSSELL

Bernama lengkap Bertrand Arthur William Russell, lahir di Monmouthshire, Inggris pada tanggal 18 Mei 1872 dari keluarga bangsawan. Ia tinggal bersama neneknya karena orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Russell belajar matematika dan fisika di Trinity College di Cambridge. Russell juga pernah mengajar di Cambridge dan kemudian di Amerika. Tetapi ia lebih di kenal melalui kegiatan – kegiatan non akademisnya daripada melalui kuliah – kuliahnya di universitas.
Selain sebagai ahli matematika, Russell dikenal sebagai seorang filsuf, dan juga sastrawan, politikus, serta pejuang perdamaian. Banyak buku yang pernah ia tulis, ia juga pernah menerima nobel untuk sastra. Russell meninggal pada usianya 98 tahun di Inggris.



A. PEMBAHASAN
Menurut Russell, permasalahan yang selama ini dihadapi oleh pada filusuf adalah karena para filusuf terkadang terlalu berlebihan dan selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang terbaik. Walaupun keadaan ini tidak mungkin bisa dicapai karena para filsuf yang ada selama ini kurang tepat melihat permasalahan filsafat dan metode-metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan filsafat.
Hal ini yang kemudian membuat Russell bersama Moore tidak saja sepakat untuk menolak idealisme Hegel dan Bradley, tetapi kedua tokoh ini juga menghidupkan kembali realisme. Di dalam perkembangan pemikiran Russell sebagaimana yang telah dilakukan juga oleh Moore yaitu melakukan pembenaran melalui common sense sebagai kepercayaan sehari-hari tentang dunia. Memang, terdapat perbedaan dengan Moore, karena Russell melakukan pendekatannya melalui metafisika dan matematika.( Abbas Hamami M :2003).
Pendekatan metafisika terlihat jelas dalam paham aliran atomisme logis, Russell mengatakan bahwa karena tak dapat disangkal bahwa teori ini bertujuan untuk menjelaskan struktur hakiki dari bahasa dan dunia. Atau dengan perkataan lain, teori ini mau mengatakan bagaimana akhir halnya dengan realitas seluruhnya. Menggatakan bahwa dunia dapat diasalkan kepada fakta-fakta atomis, jelas sekali merupakan suatu pendapat metafisis (Bertens, 1981 : 29)
Russell menggambarkan filsafat sebagai suatu daerah tak bertuan antara teologi dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berbicara tentang yang diketahui, filsafat mengenai yang tidak diketahui. Pemikiran Russell terarahkan pada teori pengetahuan dan linguistik, sehingga Russell dikenal sebagai salah satu tokoh awal filsafat analitis. Sesuai dengan karakteristik filsafat Russell bahwa filsafat hendak memahami dunia. Pusat perhatiannya adalah pada penggunaan bahasa sebagai alat penelitian. (Abbas, 2003;73).
Adapun Russell mempunyai tiga tujuan pokok yang ingin dicapainya yaitu :
 Mengembalikan pengetahuan bangsa manusia kepada ungkapannya yang paling sederhana dan yang paling padat, dimana Russell berpendapat bahwa pengetahuan hanya diperoleh dari ilmu–ilmu. Tugas filsafat yang merumuskan suatu sintesis, yaitu merumuskan pandangan yang mendasari semua ilmu khusus.
 Menghubungkan logika dan matematika. Karena menurut Russell seluruh matematika dapat dikembalikan kepada beberapa prinsip logis. Ia menyesal bahwa dalam dunia pendidikan jurusan ilmu pasti dan jurusan sastra dipisahkan karena logika dan gramatika tidak hanya penting untuk bahasa, melainkan juga sebagai dasar matematika.
 Analisa bahasa, kesadaran dan materi itu hanya dua segi dari kenyataan yang satu, dua cara untuk memberikan struktur bagi unsur - unsur netral yang sama. Analisa bahasa yang benar dapat menghasilkan pengetahuan benar tentang dunia (Hidayat, 2006 : 48)

Filsafat mempunyai tujuan untuk mengupas habis struktur hakiki bahasa dan dunia. Tujuan ini dicapai melalui jalan analisis. Menurut Russell filsafat bertugas menganalisa fakta-fakta. Filsafat harus melukiskan jenis-jenis fakta yang ada. Bagi Russell fakta-fakta tidak dapat bersifat benar dan salah yang mengandung dan bisa dikatakan benar dan salah adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta-fakta. Atau dengan kata lainproposisi-proposisi merupakan simbol dan tidak merupakan sebagian dunia. Dimana suatu proposisi terdiri dari kata-kata, yang menunjukkan kepada data inderawi (sense-data) dan universalia (universalis), yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi (Bertens, 2002 : 30). Data inderawi, semisal x adalah yang (ini adalah putih) dan universalia (ini berdiri disamping itu). Setiap proposisi atomik itu mempunyai arti atau makna sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain. Dengan memberikan kata penghubung seperti “dan” atau “atau”, maka kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk.
Russell mengatakan bahwa dunia merupakan suatu keseluruhan fakta, adapun fakta yang terungkap melalui bahasa sehingga terdapat kesesuaian antara struktur logis bahasa dan struktur realitas dunia (Kaelan, 1998 : 100)
Untuk mewujudkannya, ia membangun bahasa yang mampu menggungkapkan realitas, yang berdasarkan formulasi logika, bahasa yang mampu menggungkapkan suatu realitas secara akurat. Kelebihan Russell adalah ia mampu mensintesakan berbagai macam pemikiran para filsuf sebelumnya maupun sezamannya. Dalam pemikiran Russell tampak tradisi empirisme John Locke dan David Hume terutama dalam struktur logis dari proposisi-proposisi, dari proposisi sederhana (atomis) sampai pada proposisi kompleks yang memiliki corak logis yang sama dengan konsep ide-ide sederhana (ide atomis) sampai pad ide-ide yang bersifat kompleks. Namun demikian dipihak lain Russell juga mengangkat pemikiran Brandley (ed : esse est percipi) dalam mengkritik aliran empirisme, walaupun Russell menolak dengan tegas metafisika idealisme. Brandley yang menggungkapkan kelemahan emirisme, bahwa metodenya bersifat psikologis yang hanya bekerja dengan ide-ide dan bukannya berdasar pada suatu putusan (judgements) atau keterangan-keterangan (proposisi-proposisi). Dasar inilah yang kemudian diangkat Russell demi prinsip-prinsip analisisnya yaitu yang berdasarkan pada suatu putusan (Kaelan, 1998 : 93-94).
Tampaknya jika kita mengambil objek umum yang diduga dapat diketahui dengan indera, yang segera diberitahukan indera kepada kita bukanlah kebenaran tentang objek sebenarnya yang terpisah dari diri kita, melainkan kebenaran tentang data indera tertentu yang sejauh yang kita lihat, bergantung pada relasi antara kita dan objek. Karena itu, yang secara langsung kita lihat dan rasakan hanyalah “tampakan”, yang kita percaya sebagai ada tentang realitas yang ada dibaliknya (Russell, 1912 : 12). Perbedaan tampakan dan realitas berlangsung dari unsur terluar ke dalam, dari tampakan yang nyata di indera (kadang kala malah bisa menipu), oleh karena itu tidak bisa dijadikan patokan kebenaran. Sedangkan realitas yang sesungguhnya, baru diperoleh ketika sudah melalui pemikiran dan pemilihan yang ketat.
Sebagaimana dikutip oleh Abbas, bahwa bagi Russell pengetahuan tersusun oleh kepercayaan (belief) dan tersusun juga oleh cerapan indera, maka objek pengetahuan adalah hal yang bersifat faktual, konkret, dan dapat ditangkap indera secara langsung. Titik tolak epistemologi Russell yang demikian itu mengacu pada epistemologi Hume ─sama dengan Moore dan Reid─ yang menggunakan kesan impresi dan idea terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui objek inderawi. Russell menggunakannya sensasi atau cerapan indera dan idea (ideas) (Russell, 1948: 166) dalam (Abbas, 2003 : 70).
Russell berpendapat apabila objek secara langsung mengungkapkan tentang kebenaran maka itu akan berkaitan dengan pengetahuan intuitif. Dengan demikian, Russell mengakui adanya pengetahuan intuitif, tetapi pengetahuan itu harus bertumpu pada kepercayaan yang telah memiliki kebenaran yang jelas dengan sendirinya untuk menemukan fakta inderawi yang menjadi acuan.
Pendapat Russell tentang objek pengetahuan diungkap juga dalam pernyataannya bahwa semua pengetahuan, atas dasar pengalaman mengatakan kepada kita sesuatu mengenai apa yang tidak dialami, yang didasarkan pada kepercayaan yang tidak dapat dibenarkan maupun ditolak oleh pengalaman, namun setidaknya dalam penerapannya yang lebih konkret, tampak banyak fakta pengalaman berakar kuat dalam diri kita (Russell, 1912: 69) dalam (Abbas, 2003 : 30).
Hal itu menunjukkan bahwa objek pengetahuan adalah hal yang faktual berupa pengalaman konkret. Pengetahuan a priori tidaklah bertolak dari dunia fisik yang dialami, tetapi secara ekslusif berkaitan dengan hal yang bersifat universal (Russell, 1912: 103). Russell di dalam buku yang sama mengemukakan bahwa semua pengetahuan harus dibangun di atas dasar kepercayaan instingtif.

Proses pengetahuan
Di dalam perkembangan pemikiran Russell melakukan pembenaran melalui common sense sebagai kepercayaan sehari-hari tentang dunia. maksudnya adalah dalam berfilsafat atau dalam memecahkan permasalahan filsafat harus mengacu pada ilmu pengetahuan yang ketat dan kritis. Namun, pada perkembangan lebih lanjut filsafat Russell terarahkan pada penggunaan proposisi tentang alam semesta yang harus dirumuskan secara logis dengan menganut hukum “Similaritas” atau keseragaman yang kemudian menjadi “proposisi atomis”. Proposisi atomis ialah sebagai dasar pengungkapan dan pengembangan filsafat harus dapat diuji melalui pengalaman yang dipercaya menyajikan kebenaran yang didukung oleh makna secara sintaktis (Abbas, 2003 : 69).
Fakta dimaksudkan disini adalah yang dapat diungkap oleh proposisi atomis, dimana proposisi ini sama sekali tidak mengandung unsur-unsur majemuk. Suatu proposisi atomis mengungkapkan suatu fakta atomis. Dengan demikian Russell menyimpulkan bahwa bahasa sepadan dengan dunia. Dengan kata lain melalui bahasa kita dapat menemukan fakta-fakta jenis mana yang ada. Menurur Russell bahasa menggambarkan realitas. Namun bahasa yang Ia maksud adalah bahasa sempurna, yang terlepas dari kedwiartian dan kekaburan, yaitu bahasa logis yang dirumuskan dalam principia mathematica.
Dengan proposisi-proposisi atomis kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk, misalnya dengan menggunakan proposisi-proposisi atomis kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk, misalnya dengan menggunakan kata ”dan” atau ”atau”. Yang dihasilkan adalah suatu proposisi molekuler (molecular proposition). Tetapi tidak ada fakta molekuler yang hanya menunjuk pada fakta-fakta atomis. Kebenaran atau ketidak benaran suatu proposisi molekuler tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi atomis yang terdapat di dalamnya. Jadi fakta-fakta yang atomis menentukan benar tidaknya proposisi apa pun juga. Atau perkataan Russell adalah ”molecular proposition are truth-function’s of propositions. (Bertens, 2002 : 29-30).
Menurut Russel, suatu proposisi (dapat bernilai benar atau salah) yang menjelaskan suatu fakta atomik itu dinamakan Proposisi atomik. Proposisi atomik ini merupakan bentuk proposisi yang paling sederhana, karena sama sekali tidak memuat unsur-unsur majemuk. Misalnya: x adalah yang (ini adalah putih) atau xRy (ini berdiri disamping itu). Setiap proposisi atomik itu mempunyai arti atau makna sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain. Dengan memberikan kata penghubung seperti “dan” atau “atau”, maka kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk.
Russell filsafat seperti studi – studi lainnya, utamanya ditujukan pada pengetahuan. Pengetahuan yang menjadi sasarannya adalah jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem pada batang tubuh ilmu pengetahuan dan jenis yang dihasilkan dari suatu pengujian terhadap dasar – dasar dari keyakinan, prasangka, dan kepercayaan.
Sebagaimana yang diungkapkan Russell bahwa tugas filsafat adalah analisis logis dan disertai sintesa logis, mengandung pengertian bahwa untuk mendapatkan suatu kebenaran dilakukan dengan mengajukan alasan-alasan yang bersifat apriori yang tepat bagi suatu pernyataan. Adapun sintesa logis dilakukan dengan menentukan makna suatu pernyataan atas dasar pengalaman empiris (pengalaman indera). Dengan metode demikian ia berhasil memecahkan problema-problema filsafat melalui analisis bahasa. Menurut Russell kebenaran yang bersifat logis dan matematis yang diungkapkan melalui analisis logis meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan sifat-sifat universal yang bersifat tetap, dan dalam kenyaaannya teori yang bersifat empiris murni yang tidak mampu mengungkapkan hal tersebut. Atas dasar itulah maka Russell lebih mendahulukan analisis logis dari pada sintesa logis. Russell mendasarkan pada analisis logis karena hal ini mendasarkan pada kebenaran apriopri yang sifatnya universal, analisis logis berhasil memecahkannya (Kaelan, 1998 : 99-100). Sehingga, hasil akhir yang dicapainya adalah atom logis, bukan atom fisik.
Jalan kebenaran diperoleh dengan melalui penggunaan analisis disertai analisis logis. Russell berpandangan bahwa bahasa sehari-hari tidak cukup untuk bahasa filsafat, karena mengandung banyak kelemahan, antara lain : kekaburan, makna ganda, tergantung pada konteks dan lain sebagainya. Atas dasar inilah ia membangun pemikirannya melalui bahasa yang berdasarkan formulasi logika (Kaelan, 1998 : 94)
Jadi pusat perhatiannya adalah pada penggunaan bahasa sebagai alat penelitian, bahkan lebih jauh ia mengembangkan filsafat analitis. Hal ini tampak pada perkembangan filsafat Russell yang terarahkan pada proposisi tentang alam semesta yang harus dirumuskan secara logis dengan menganut pada hukum similaritas yang kemudian menjadi proposisi atomis. Proposisi atomis sebagai dasar pengungkapan dan pengembangan filsafat yang harus dapat diuji melalui pengalaman yang dipercayai menyajikan kebenaran.

Kebenaran
Russell mengatakan bahwa seorang filsuf harus berfikir secara umum, karena masalah yang dia hadapi juga masalah-masalah umum; dia juga harus berfikir secara netral, karena da tahu bahwa hanya itulah satu-satunya jalan menuju kebenaran (Russell, 1974 : 34)
Disamping itu, Russell mengemukakan betapa pentingnya logika bagi apapun yang membutuhkan kebenaran. Ini terungkap dalam bukunya bahwa jika kemenangan serupa lainnya ingin dicapai dalam bidang-bidang kehidupan sosial lainnya, maka semua manusia perlu belajar berfikir lebih logis dan melepaskan diri dari perbudakan prasangka dan keinginan (Russell, 1974 : 75). Bagi orang-orang yang mampu mengapresiasikannya, matematika menawarkan berbagai kesenangan, dimana tidak ada seorang moralis pun yang akan mengajukan keberatan (Russell, 1974 : 117)
Filsafat hendaknya mencapai pengetahuan yang umum dengan memperhatikan prinsip kenetralan dan keumuman, seperti halnya kita tidak akan mampu mencapai pengetahuan yang hakiki mengenai segala realitas, kita hanya dapat mencapai kebenaran semu yang berhubungan dengan tampakan. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa hanya dengan penelitian bahasa, kita mampu mencapai pengetahuan yang bukan hanya tampakan namun juga hakikat eksistensi dari realtas tersebut.
Kebenaran pengetahuan menurut Russell adalah sifat kepercayaan, kebenaran mengandung arti hubungan tertentu diantara kepercayaan dengan satu fakta atau lebih yang lain daripada kepercayaan, bila hubungan ini tidak ada maka kepercayaan tersebut salah (Abbas, 2003;72) Russell menegaskan bahwa suatu kepercayaan bernilai benar manakala hal itu berkaitan dengan kumpulan fakta yang kompleks dan salah manakala tidak berkaitan dengan fakta. Semua fakta khusus yang diketahui tanpa penyimpulan diketahui oleh persepsi melalui pengalaman. Fakta adalah benda atau kejadian yang dapat dialami.
Russell dalam teori pengetahuannya mengemukakan bahwa “semua pengetahuan harus dibangun atas dasar kepercayaan instingtif kita, namun diantara kepercayaan instingtif kita ada yang jauh lebih kuat dibandingkan yang lain, sementara banyak kepercayaan instingtif karena kebiasaan dan pergaulan menjadi terjerat dengan kepercayaan lain tidak sungguh-sungguh instingtif melainkan secara keliru diasumsikan sebagai bahan bagian dari apa yang dipercaya secara instingtif”. Pendapat Russell tampak menggandaikan bahwa pengetahuan berbasis pada kepercayaan yang sifatnya ingstingtif. Karena kepercayaan instingtif bukanlah merupakan bentuk ketidakserasian, melainkan suatu bentuk sistem harmonis. Akan tetapi, pada dasarnya kepercayaan instingtif itu bertolak pada fakta yang dialami. Subjek mengenal objek universal secara langsung (directly acquainted), secara instingtif melalui relasi atau hubungan universal. Fakta yang memiliki sifat universal tampak berkaitan erat dengan entitas dalam dunia fisik yang dapat ditangkap oleh indera. Bagi Russell pengindraan adalah pengalaman tentang ada yang disadari secara langsung (the experience of being immedietly aware) (Abbas, 2003;73).
Pernyataan-pernyataan tentang hal yang faktual empirik harus dalam relasinya dengan fakta. Suatu fakta akan bernilai benar manakala memiliki similaritas dengan fakta lain yang sama atau sejenis. Pemahaman terhadap fakta yang sama ini dapat disimpulkan melalui penyimpulan hewani (animal inference). Animal inference adalah proses interpretasi spontan tentang penginderaan. Dengan demikian, merupakan suatu penyimpulan yang sifatnya niscaya. Hal niscaya jauh dari kesalahan, evidensi pengetahuan sifatnya boleh jadi. (Abbas Hamami, 2003;73).
Tapi dengan melanjutkan teori ini (atomisme logis) secara konsekwen, terpaksa Russell beberapa hal yang mengakibatkan diskusi-diskusi hebat dalam kalangan filsuf Inggris. Pertama-tama Russell harus mengatakan bahwa masih ada fakta umum. Seperti pernyataan-pernyataan umum yang tidak harus dibentuk oleh proposisi atomis seperti “semua orang akan mati”, dari proposisi ini pernyataan ini benar karena tidak terdiri dari serangkaian fakta-fakta atomis, A akan mati dan B akan mati, tetapi proposisi ini benar karena adanya fakta umum yang berlaku benar.
Hal kedua Russell juga mengakui adanya fakta-fakta negatif., karena itulah satu-satunya cara untuk menerangkan kebenaran dan ketidakbenaran proposisi-proposisi negative, seperti “tidak ada kuda berkaki sepuluh” hanya akan benar atau tidak benar berdasarkan suatu fakta.
Ketiga, Russell harus mengakui adanya fakta-fakta khusus yang sepadan dengan preposisi “John beranggapan bahwa bumi itu bundar”. Kebenaran preposisi tersebut tidak bertumpu pada benar tidaknya proposisi “bumi itu datar”. Jadi proposisi semacam ini menunjuk pada suatu fakta jenis tersendiri yang lebih mengacu pada suatu kepercayaan atau suatu fakta psikis (mental fact) (Bertens, 2002 : 31).
Pemikiran dan teori – teori Russel sangat terlihat jelas terkait dengan latar belakang pendidikannya sebelumnya. Karena ia besar dalam “lingkungan” matematika, ia bersama Whitehead mencoba merapikan matematika sepenuhnya. Tetapi di dalam usaha menemukan suatu definisi logis dari bilangan, dengan pengertian kelas, Russell terlibat dalam paradoks.
Paradoks ini sangat dikenal dengan sebutan ‘Paradoks Russell’. Sebelumnya, Russell dan Whitehead menciptakan suatu bahasa simbol – simbol untuk mengatasi paradoks – paradoks logis. Dalam buku ‘Principia Mathematica’, ia menjelaskan sebuah paradoks, yakni dengan contoh sebagai berikut: “umumnya kelas tidak memuat dirinya sebagai anggota. Misalnya, kelas semua kucing bukanlah kucing. Ada beberapa kelas yang memuat dirinya sebagai anggota. Tetapi perhatikan kelas dari semua kelas yang bukan anggota kelasnya.”( Hamersma, H : 1983)
Teorinya yang di atas inilah yang menciptakan ke-paradoks-an dalam teorinya sendiri. Russell berpikir bahwa ia telah memecahkan masalah, tiba – tiba ia sadar bahwa masalah sebenarnya tidak ada, maka ia menuai karyanya dalam paradoks analisis logis. Akan tetapi, dengan keahliannya dalam bidang matematika ia merupakan salah satu pelopor suatu aliran kefilsafatan yang disebut filsafat analitik. Ciri khas aliran ini adalah keinginan untuk memperjelas melalui analisis dan perlawanan terhadap metafisika. Kepiawaiannya dalam beranalisis dipertemukan dengan pemikiran yang logis dalam pemecahan masalah.
Russell yang sebagai seorang ahli matematika masuk dalam pemikiran filsafat setelah terlebih dahulu belajar matematika dan meneliti serta menulis disertasinya tentang dasar – dasar geometri. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa masuk dan memahami filsafat melalui matematika, dan menemukan kebenaran dalam penalaran matematika.
Terakhir bahwa Bertrand Russell adalah seorang ahli matematika dan sebagai seorang filsuf. Russell menguraikan beberapa pemikirannya tenttang pengetahuan, menurutnya pengetahuan adalah susunan dari kepercayaan – kepercayaan dan tersusun dari cerapan insera, maka objek pengetahuan itu bersifat faktual, konkret,dan dapat ditangkap indera secara langsung.


D. DAFTAR PUSTAKA

Russell. B, 2002, Persoalan-Persoalan Seputar Filsafat, Ikon Teralitera, Yogyakarta. (trj: Anmad Asnawi) dari judul asli The Problem of Philosophy, 1912, Oxford University Press, London.
Russell. B, 2002, Berfikir ala Filsuf, Ikon Teralitera, Yogyakarta. (trj:Basuki Heri Winarno) dari judul asli The Art of Philosophizing & Other Essays, 1974, Rowman&Littlefield Publishers, Maryland.
Hamersma. H, 1983, Tokoh – Tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta
Abbas. Hamami M, 2003, Teori – Teori Epistemologi Common Sense, Paradigma Offset, Yogyakarta.
Kaelan, 1998, Filsafat Bahasa masalah dan perkembangannya, paradigma, Yogyakarta
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta.
Hidayat. Asep Ahmad, 2006, Filsafat Bahasa menggungkap hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, Rosda, Bandung.

http://deking.wordpress.com/2007/01/29/paradox-tukang-cukur/ diakses tanggal 30 Mei 2009

Jumat, 29 Mei 2009

SEKEDAR BERUCAP “LETIH”

Sebenarnya, patutkah kita menyalahkan orang lain atas kerusakan, kebrobrokan dan keterbelakangan dalam diri kita?. Jika memang itu patut, maka kita tak ubahnya seperti keledai dungu yang terjatuh dilubang dalam tanpa usaha untuk keluar dari lubang tersebut, hanya sibuk mengumpati lubang dan mencaci nasib yang tidak pernah memihak padanya. Namun lain halnya jika menjawab tidak, yang salah dari keterbelakangan adalah kita sendiri, maka kita akan terus mencari dan berusaha menapaki dan menembel lubang yang ada. Sembari retropeksi, kita merenung mendalamkan piker kita untuk kemantapan sekaligus arogansi ke-ego-an masing-masing.

Tidak ada salahnya kita merenung sejenak atas pokok permasalahan daripada keterbelakangan kita dan superior bangsa lain atas kita। Ketika terbesit kebodohan dalam nurani kitaCerminan tradisi masyarakat kita yang berperan dalam penghambatan perkembangan pendidikan bangsa kita dari ilmu mental jongos, buruh dan tentunya konsumtif.

Senin, 25 Mei 2009

KULI MENGADU KUALI

Tersetak, serasa tak berdaya, mendengar suatu perkataan yang amat menyayat hati (bagi yang kerasa) meluncur dari mulut kaum yang selama ini memang menjadi urat nadi pembangunan atas gedung-gedun bertingkat, monument, sekolah, apartemen mewah maupun stadion yang menjadi kebanggaan masyararakat suatu daerah. Nafas pembangunan berhembus dengan izinnya, dibawah perintah untuk tujuan agar dapat menjadi ikon kemakmuran (salah; yang benar adalah ikon penguasa), walaupun kemapanan tersebut disusun oleh lempengan-lempengan labil masyarakat yang kapanpun siap bergesekan dan bergejolak menjadi konflik.
Bermula dari obrolan kecil ditengah kerja, pada suatu tempat ditengah
Pernyataan tersebut menyoal harapan mereka yang telah hilang, sehingga mereka ingin agar generasi dibawah mereka mampu mendapatkan apa yang tak mampu mereka beli
Sedikitnya mereka tak sadar bahwa perkataan mereka membuat suatu arti tersirat daripada kritik social tingkat tinggi, betapa tidak, ungkapan kaum papa bahwa mereka menaruh harapan agar orang lain dapat mencapai apa yang mereka sendiri tidak mampu mencapainya. Sebuah harapan tulus dari seorang yang berada dalam system represif social menyadarkan

Minggu, 24 Mei 2009

Analisis Najis caper

SBY – BOEDIONO
JK – WIRANTO
MEGA – PRABOWO
Coba lihat, dari semua pasangan Capres-Cawapres terdapat pribadi militer
Tapi saya sangat setuju, karena Negara kita saat ini sangat butuh sosok pemimpin “yang ditakuti” supaya tidak banyak omongan gak bertanggung-jawab, juga untuk menbentenggi rakyat dari tebaran fatwa-fatwa gak jelas
Kalau Anda punya pendapat lain, yo boleh lah
Haha
Ini cuma sekedar omongan yang juga sama gak jelasnya