Kamis, 16 April 2009

OCEHHAN LELAH SEORANG ANAK BANGSA

Ya, memang pikiran intelektual mereka selalu disibukkan dengan istilah-istilah khas kaum intelektual yang sermakin mempertebal dinding pemisah antara kita, mereka merasa bangga dengan titel dan gelar yang tak lebih dari sekedar embel-embel kering hasil dari pemanasan otak selama minimal empat tahun. Atau kalau mau lebih berasa besar, tambah dua tahun pemanasan lagi.
Semakin lama mereka pemanasan, semakin sering pula istilah yang sulit dimengerti muncul dan akhirnya semakin mereka bangga dengan istilah yang tidak mereka sadari semakin membawa kesenjangan. Bolehlah mereka pemanasan dalam penjara akademis selama bertahun-tahun (kalau perlu berabad-abad), tetapi ada satu yang patut mereka ingat, kita masih sama sebagai manusia, hanya kesempatan dan keluasan waktu saja yang membedakan.
Tak jauh-jauh, intelektual kita yang masih bau kencur pula disibukkan dengan gaya hidup dan jaim ala “mahasiswa”. Menyandarkan diri pada yang terlalu toeri diatas langit, yang ternyata hasil copy-paste punya orang lain. Tidakkah kita punya harga diri sebagai personal individu merdeka, tidakkah bangsa kita punya sesuatu yang bisa menjadi senapan mesin otomatis dengan 1000 muntahan peluru tiap detik, tidakkah kita punya toeri pendidikan yang lebih dashyat melebihi -pedagogi hati-nya Pierre atau paham -eksistensialisme-nya Sartre. Jawabannya terserah Anda.
hahahahahaha
Ketika dihadapkan pada serangkaian masalah kebangsaan “tidak dalam bingkai nasionalisme”. Kita pasti tersentak mendapati keberadaan rasa yang telah tekikis habis deburan ombak neo-kolonilalisme, ketika warna bendera pun telah dilupakan, ketika wilayah-wilayah Negara semakin kabur oleh libido kuasa kapitalis pribumi atau ketika para intelektual telah berubah menjadi semacam “elit penguasa otoritas keilmuan”.
Atau ketika berhadapan dalam bingkai kepentingan lemahnya perut menahan lapar dengan dihadapkan pada serangkaian normative aba-aba presiden dan elit bangsa. Manakah yang harus didahulukan antar norma social, nasionalisme dan perut?
“soal perut, tak bias ditunda”. Sebenarnya siapa yang patut disalahkan atas beringasnya perut lapar?
Itulah bukti bahwa jati-diri dan karakter kebangsaan kita telah hilang ditelan gemerlap teori-teori pengetahuan “asing” yang semakin membuat kita terasing dirumah sendiri, buruh dipabrik sendiri atau beringin besar tanpa akar kokoh. Barang impor bukan berarti kualitasnya bagus, itulah yang patut kita sadari sebagai bangsa pewaris kebesaran maritime “Majapahit dan Sriwijaya” yang mampu membuat bangsa anak-cucunya dengan kemampuan dan kemauan berdikari, tanpa mengandalkan orang lain. Berani atas potensi diri dan percaya pada mimpi “berjaya”.

AKHIRNYA DATANG JUGA PENYAKIT ITU “OTAK BUNTU”

(tak bermaksud posesif).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar