Kamis, 23 April 2009

salahkah jika senyum?

ADA YANG SALAH?

Adakah yang salah dalam diri ini jika selalu saja kehendak dan kemauan menjadi hampa, seperti udara beracun “segar mematikan”. Sepertinya kotak hati ini selalu dipenuhi beragam kesalaham sistem berfikir dan menalar, nurani yang bersih dan suci tak lagi mampu mengimbangi kuatnya dorongan arus nafsu dan otoritas patriarki-rasional. Seakan kemauan dan kehendak menjadi tanpa arti ketika dihadapkan pada setumpuk realita yang membusukkan harapan, membusukkan pemikiran atas kesadaran yang mulai direduksi oleh lingkungan tempat serigala-serigala memasang wajah manis tanpa dosa.
Ada yang salah dalam realita ini, jika selalu saja usaha dan upaya yang dilakukan berujung pada kekosongan persona atas kehendak dan kebebasan. Kehampaan udara kebebasan makin memaksa kita untuk menghirup racun tirani bentukan kapitalis-borjuase, yang sebelumnya telah lebih dahulu disusupi angin ketergantungan atas ketiakmampuan kita melawan kenyataan. Terbentuk dari remah-remah feodalis pemuja kebangsawanan dan kematian yang fakir.
Bukankah setiap kita makhluk beradab dan bermartabat atas manusia yang lain? Jika ya, mengapa harus terjadi penistaan dan penyingkiran, bahkan pembunuhan karakter.
Ada yang salah dengan pendidikan kita, yang selalu saja menyebabkan lulusannya bermental inlander, tidak berkarakter dan tanpa jati-diri. Out-put yang dihasilkan hanya berupa sekelompok orang ber-IP tinggi yang tak jarang mempunyai kelemahan mental dan karakter. Atau mereka dengan kepandaian dan keilmuan yang diperoleh dalam tataran akademis hanya mampu diam saja melihat ketidak-mapanan dan penindasan system maupun ideology penyiksa. Mereka baru akan berbicara jika itu menghasilkan keuntungan bagi kepentingan pribadi mereka.
Adakah yang salah dengan mimpi kita, jika dalam kehidupan nyata tak pernah dijumpai sejumput senyum kemenangan dan kebahagian, bahkan sebaliknya hanya senyum getir dan miris merasakan derita yang terus tanpa lelah menghujam dan makin dalam. Sebutir nasi, hanya itu yang diperlukan untuk meredam gejolak para pemimpi yang dipaksa bangun dari ruang dan waktu yang memberi ia sedikit senyum, setelah sekian lama tangis dan derita melekat erat dan mengalir dalam darah merah mereka, yang makin menghitam oleh virus penistaan. Mengapa mimpi itu tercerabut dari akar indahnya, jika hanya itu yang mampu menjadi sedikit obat duka bagi para pesakitan realita.
Jika mimpi itu dilarang, kami tak tau lagi, dimana kami bisa tersenyum?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar