Jumat, 22 Mei 2009

muak

MUAK
“kesadaran akan kekacauan dirinya, menyebabkan manusia menjadi tragis, tetapi bukan murung”
(Albert Camus)
Pernahkah terlintas dalam benak bahwa betapa hidup ini sungguh memuakkan? Dimulai dari pagi saat membuka mata, semua diakhiri pada malam beranjak tidur, sungguh penuh dengan berbagai hal yang memuakkan, menjijikkan, menyedihkan dan terlebih lagi “tragis”. Penuh masalah, ketidak-mapanan, knflik, gesekan, menjadi warna yang menghiasi hari-hari, selalu dan selalu ada hal yang memuakkan. Tidak peduli siapapun dan kapanpun, muak pasti menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidupnya, dan menjadi tonggak keberadaan diri sebagai manusia eksis-absurd.
Sekaran marilah kita telaah lagi, bagaimana yang eksis-absurd dapat menjadi bagian tak terpisahkan dalam diri dan mengapa harus selalu begitu absurd dan selalu memuakkan. Hidup dipenuhi oleh permasalahan .
Dalam kontruksi kesadaran diri yang terlihat utuh dan kokoh, sebenarnya terdapat kekeroposan dan keheranan yang membuat hidup terasa makin absurd
Bangun kesiangan, Membuka pagi dengan kesiangan yang bukan merupakan kesalahan kita,


Keculasan dan kecurangan tanpa nurani sungguh telah menjadi suguhan sehari-hari, beragam sikap memuakkan orang disamping kita dengan kesombongan harta untuk menginjak dan meneror kawan. Orang kaya dengan segepok uang yang tak jelas asal-muasalnya mencoba berdiri diatas perut lapar sang fakir-miskin, dengan gigi putihnya terbuka dalam terbahak-bahak ia menunjukkan bahwa betapa kuatnya kekuasaan capital dalam hidup yang makin hari makin absurd dan memuakkan. Dengan pongahnya, mereka mengekarkan tangan yang penuh dengan lemak untuk mencengkeram harta yang dianggap akan menemani dan menolong mereka dalam situasi apapun. Jenuhkah mereka yang merasa diatas angin kebebasan uang? Tentu tidak, Karena seakan mereka dilahirkan untuk menjadi kenyang ditengah paceklik panjang nurani kemanusiaan.
Boz, sebutan itulah yang menjadi racun dalam keabsurdan dunia, sebutan itu menjadi momok bagi para pekerja keras yang tertindas oleh keberadaan system pendukung atas pengkebirian harkat dan martabat manusia, jadilah semacam manuysia tanpa eksistensi dan kebebasan mutlak, kalau sudah seperti itu, tak ubahnya manusia hanya sebagai bangkai harum berjalan melenggok tanpa pengada dan mengada.


Belum Rampung
Besok berlanjut pada pemberontakan “tapi nek aku sempat”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar