Jumat, 22 Mei 2009

PERTANYAAN TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN

Apa yang diharapkan dari pendidikan? Apa yang didapat dari proses pendidikan? Ketika pertanyaan itu dilontarkan, yang terbesit dalam benak adalah harapan, tujuan, orientasi dan cita-cita. Kemudian apakah tujuan itu adalah lulus dengan nilai tinggi, pekerjaan layak, gelar kesarjanaan, penghormatan atau pengakuan dari orang sekitar sekedar ataukah hanya untuk sekedar mengisi waktu luang daripada tidak ada kerjaan dan bias menjadi kebanggaan maupun jawaban jika suatu saat ditanya “apa kesibukannya”. Jika yang tersebut diatas adalah tujuan maka yang terjadi adalah semakin jauhnya tujuan ideal pendidikan. Padahal orientasi pendidikan adalah proyek besar homonisasi dan humanisasi.
Homonisasi, kata homo (manusia, Latin) berasal dari humus (tanah). Merujuk pada perkembangan memuncak dengan membentuk makhluk yang disebut ma¬nusia. Proses ini bisa kita sebut hominisasi, artinya penjadian manusia. Pemaknaan ini terhubung erat dengan suatu usaha usaha untuk berproses didalam suatu wadah pendidikan dengan satu tujuan yaitu menjadikan manusia dengan jalan memanusiakan manusia muda (yang dididik).
Humanisasi, merujuk pada perkembangan yang lebih tinggi, pada kebudayaan tingkat lanjut yang terus-menerus berkembang dan dikembangkan. Human berarti sesuai dengan kodrat manusia, jadi sama dengan manusiawi dan insani. Kalau disimpulkan akan membentuk gugusan pengertian bahwa berkembangnya kebudayaan yang lebih tinggi atas dasar nilai kemanusiaan dan keinsanan.
Hakikatnya adalah membentuk manusia berjiwa manusia dan pribadi tangguh bermental berkarakter, karena manusia manusia adalah seorang pribadi, seorang person dan seorang subjek, yang berarti bahwa ia harus mengerti, akan menghadapi dan menempatkan diri dalam suatu situasi, kemudian mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Bukanlah ia adalah mengada secara buta, melainkan mengada dan pengada yang secara eksis mampu mempertahankan dan menghadapi situasi yang tercipta dan diciptakan.
Dengan didasarkan pada nilai kemanusiaan, yang merupakan orientasi pendidikan secara umum karena nilai kemanusiaan dimaksudkan sebagai bentuk tertinggi dari sebuah pengertian tentang kesempurnaan manusia sebagai makhluk mono-dualis. Dimana manusia dituntut untuk dapat menyelaraskan dirinya dengan apa yang ada disekitarnya dan mampu menghadapi dunia tempat ia berada dan mengada.
Orientasi, sebuah hal abstrak dan memiliki makna yang berbeda-beda bagi orang yang memandangnya. Adakalanya tujuan tersebut menjadi semacam tolak-ukur keberhasilan pendidikan sebagai sebuah proses, ada juga yang menganggapnya sebagai suatu final dari pada sebuah aktivitas yang dilakukan. Ketika dihadapi sebagai tolak-ukur, maka pendidikan bermakna material yang dapat dicerap oleh alat ukur berupa terwujudnya nilai-nilai dan semangat peserta didik. Tapi kita tidak boleh berhenti disini karena pendidikan adalah sebuah proses yang membuka seribu kemungkinan atas apa yang timbul dikemudian hari dari sebuah proses pendidikan.
Namun akan berbeda kiranya jika dihadapi sebagai suatu final dari sebuah aktivitas yang dilakukan, maka pendidikan bermakna sebagai suatu hasil akhir dari sebuah perjalanan panjang manusia untuk menjadi terdidik dan terlatih.
Pendidikan harus mempunyai semacam spirit untuk menjadikan manusia muda (peserta didik) dapat menghadapi apapun yang manghadangnya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan sebagai suatu aktivitas fundamental mengandung dua unsur, yaitu mendidik dan dididik. Mendidik berkenaan dengan aktivitas yang melibatkan dua pihak yaitu guru dan murid dimana hubungan keduanya dituntut mencerminkan kesetaraan, persahabatan dan kesamaan antar dua belah pihak, bebas dari bentuk dominasi dan penyetiran. Manusia muda diberi keluasan untuk bersikap dan mengembangkan diri sesuai karakter kemanusiaannya.
Pendidikan bukan hanya pada tataran teknis, bagaimana membentuk peserta didik meenjadi tenaga siap pakai atau sesuai dengan pasar kerja. Namun lebih jauh lagi mengajarkan manusia mengenai kebuddayaan dan peradaban, bagaimana kemudian mereka menerima dan menggembangkan niali-nilai.
Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Menurut Notonagoro, hakikat manusia adalah makhluk monopluralis, jiwa raga merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aspek jiwa manusia mempunyai cipta, rasa, karsa yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan apakah sesuatu itu benar atau tidak benar, baik atau tidak baik. Keseimbangan ketiga unsure tersebut mempunyai dampak hebat dalam perkembangan pemikiran manusia, kelanjutan manusia untuk mengemban tugasnya sebagai makhluk berbudaya. Ketika terjadi ketimpangan atas ketiga unsur tersebut, akibatnya sungguh tidak dapat dibayangkan, prosesi pewarisan kebudayaan positif tidak akan berjalan bahkan mencapai titik nadir perjalanan suatu bangsa.
Adalah munafik jika hanya mempertimbangkan aspek-aspek kemampuan materi untuk mendefinisikan keberhasilan pendidikan. Banyak diantaranya tidak menempatkan manusia kedalam hakikatnya, ketika jiwa manusia mempunyai potensi lebih untuk dikembangkan sebagai pengejawentahan budi. Namun ketika factor kepunyaan benda menjadi penghalang jiwa memperoleh makanan sehat, maka ketimpangan dalam manusia sebagai makhluk monopluralis. Tidaklah benar bahwa anggapan semutu apapun jiwa (otak), tetap kalah pada materi kebendaan, sungguh ironis apabila hal ini terjadi pada negara dengan prinsip “anak miskin dan terlantar dipelihara oleh negara”, (pasal 33 ayat 1).
Rupanya kita perlu menata lagi niat, berangkatnya kita kuliah hanya sebagai bentuk pengikutan dan pengikutan kita pada eksistensi budaya pop, bukan lagi didasari kesadaran utuh akan kewajiban kita sebagai manusia berakal sempurna (tidak gila).
Bagaimana dimensi keindividuan manusia dapat berkolaborasi indah dengan dimensi-dimensi lain, seperti dimensi kesosialan, kesusilaan, keagamaan manusia. Setidaknya itulah idealis pendidik yang patut diacungi jempol, nyatanya bangsa kita membutuhkan sosok seperti itu dalam dunia pendidikan kita, bukan hanya pekerja dibidang pendidikan seperti yang selama ini banyak kita jumpai.
Harmoni beberapa dimensi itulah yang akan mencitrakan manusia sebagai manusia seutuhnya, dimana keutuhan itulah yang pada masanya akan melahirkan kualitas dan kuantitas manusia Indonesia yang mampu menatap kebudayaan globalisme dengan membusungkan dada dan berkata akulah manusia Indonesia.
Semangat kolektifitas dan semangat kebersamaan tidak manghalangi langkah maju dalam keterbatasan dan keprihatinan, solidaritas social yang ditampakkan dalam lingkup persahabatan hampir-hampir membawa kita pada kita pada pepatah lama yang dihafal tanpa penyadaran “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Keterbatasan ruang gerak peserta pendidikan tidak mampu membendung aliran semangat komunal untuk saling mendukung dalam kerasnya dikotomi pendidikan yang digambarkan oleh kehidupan.
Roh pendidikan akan tampak ketika kita mampu memberi penghargaan dan peka terhadap lingkungan sekitar, bukanlah semangat individu yang merasa pintar dengan segudang teori yang dihafal luar kepala. Kemampuan membangun bangsa tidak ditentukan oleh kuantitas ijazah bernilai 100, tetapi semangat saling berbagi dan setia kawan, ketika pendidikan hanya disikapi sebagai transfer ilmu pengetahuan maka kehancuran jiwa manusia akan dapat segera dipastikan.
Keadaan pendidikan yang carur-marut ini semakin ditambah runyam dengan kontruksi budaya yang menopang dan memperberat peningkatkan harkat martabat. Bangunan mainstream itu tak ubahnya seperti limpahan platina membeku dan menutupi seluruh permukaan otak manusia yang hidup dinegara ini.
Terdapat satu sikap budaya kita diantara sekian banyak budaya yang kita punayi, senyatanya menghambat proses pendidikan berbasis rasio. Sikap mental itu adalah “manut lan miturut” adalah salah satu budaya yang haus dirubah, sikap ini mengakibatkan peserta didik hanya dijadikan sebagai objek, bukan sebagai subjek, dimana otoritas belaja-mengajar dibebankan penuh pada guru, sehingga anak didik diposiskan sebagai pendengar dan pewaris dari setiap materi yang diberikan, mereka tidak berfikr kritis, kreatif dan inovatif
Tujuan pendidikan perlu dirumuskan kembali sehingga memuat secara implisit pendidikan sebagai educare. Educare berarti membimbing, menuntun, dan memimpin. Pendidikan sebagai educare ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus dikuasai. Proses pendidikan educare lebih merupakan aktivitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Di sini atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik. Filosofi pendidikan yang demikian ini yang harus terakomodasi oleh Tujuan Pendidikan Nasional karena filosofi pendidikan educare mengantar pada tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, kedewasaan dan kecerdasan peserta didik. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, sudahkah proses pendidikan kita menuju arah dan tujuan yang seharusnya?
Lalu adakah parameter yang menjadi tolak-ukur bahwa sedang dilakukan proses dalam “belajar”. Terdapat beberapa ciri belajar, namun yang menjadi pokok adalah perubahan tingkah laku maupun pola pikir, yaitu ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku yang relatif permanen, namun perubahan tersebut juga tidak harus segera dapat nampak dalam proses belajar, melainkan bisa jadi bersifat potensial, dalam artian memang masih berupa potensi yang menunggu waktunya tumbuh menjadi aktual.
Namun, karena peserta didik tidak lagi sebagai sentra dalam proses pendidikan. Aktualisasi potensi dan bakat peserta didik menjadi terabaikan. Akibatnya, rasa percaya diri dan kemampuan berekspresi peserta didik kurang diberi ruang untuk berkembang. Padahal, keberhasilan pendidikan bukan terletak pada isi yang diberikan tetapi atmosfer dan proses interaksi, yang dalam pendidikan akan mempengaruhi kreativitas, kecerdasan, mutu dan kualitas yang dihasilkan.
Sebuah tinjauan akhir, terdapat anggapan bahwa arah tujuan pendidikan kita memang selalu terhambat dan dihambat oleh apa yang dinamakan system, jikalau memang demikian bahwa sebuah system pengerak pendidikan yang mengakibatkan ke-konstan-an laju keberhasilan pengentasan kebodahan masyarakat kita. Dan jika sistem ini yang merupakan pokok permasalahan pendidikan dinegeri ini, kalau ini adalah satu-satunya masalah, maka siapkah kita menggerakkan aktivis pendidikan kita untuk mendobrak system tersebut, untuk kemudian membantun sebuah system pro tujuan luhur pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar