Jumat, 22 Mei 2009

POSTER CALEG, SEBAGAI BENTUK KOMUNIKASI BUDAYA POLITIS

Ketika melangkahkan kaki keluar dari rumah, pemandangan apakah yang pertama kali menyapa mata kita, yang selaras dengan suasana kontemporer “gawe gede” negara kita. Apakah rerumputan, pejalan kaki, motor, deretan toko, pedagang kaki lima ataukah gambar besar para caleg mencolok mata?. Jika kita menjawab warna-warni gambar caleg, maka jawaban kita adalah benar.
Bendera partai, dapat dimaknai sebagai komunikasi budaya untuk menyampaikan kepada massa agar “sadar politik” secara normatif atau secara realistis agar masyarakat memilih dan memenangkan mereka dalam pemilu 2009. Merunut pengertian Bakker (1984-16) bahwa Komunikasi adalah hasil daya budi perseorangan tersedia untuk digunakan dalam kesatuan antar sebjek secara dialog dengan saling menyumbang dan bertukar pikiran, agar hasil itu semakin sempurna dan berfaedah. Maka poster tersebut dapat digolongkan pada bentuk komunikasi tidak langsung untuk mengajak masyarakat memasuki budaya politis dengan asas ”semakin sempurna dan berfaedah”. Sebuah perilaku yang diharapakan oleh pelakunya untuk mendapatkan simpati, dukungan dan suara politik dari yang melihat poster tersebut.
Pergeseran makna komunikasi budaya dapat terjadi apabila terjadi ketimpangan antara penyampai pesan ”politikus” dan penerima pesan ”masyarakat”. Karena bila para kaum politis memegang kebudayaan maka paham kebudayaan akan di bayangi sebagai tugas, tanggung jawab, dan kepentingan kelompok. Bukan lagi membawa tujuan khas komunikasi untuk membawa saling mengerti dan memahami antara kedua belah pihak, namun lebih condong kearah pemenuhan hasrat penguasaan kelompok atas yang lain, dengan hegemoni komunikasi budaya politis.
Budaya berpolitik dalam pemilu nampaknya mengacu pada sedikit golongan yang berkepentingan atas pemilu tersebut. Yang secara sadar ingin menyampaikan gagasan politiknya kepada masyarakat luas, dengan tujuan meyakinkan masyarakat atas hak dan peran mereka untuk turut serta menentukan yang pantas menjadi penentu kebijakan dinegeri ini. Proses dialogis pasif yang terjadi dalam media poster, semakin melegitimasi kuasa politis dari para elit. Tentu saja dengan mengesampingkan masyarakat dilain pihak.
Kemudian dibuatlah suatu sistem kampanye untuk menawarkan bayangan cita-cita masa depan jika mereka menang. Poster yang diasumsikan sebagai alat komunikasi paling efektif berpeluang besar mengisi kesenjangan pemahaman budaya politis antara politikus dan masyarakat. Antara para politikus dengan budaya politisnya berhadapan dengan masyararakat dengan ”keawamannya”.
Komunikasi budaya ”sadar politik” dimainkan dalam bingkai hegemoni kekuasaan, sehingga mengakibatkan ketimpangan dari pelaku dan penerima. Disatu pihak pelaku menghiperbolakan kemampuan dengan klaim sepihak atas sedikit keberhasilan yang dicapai bangsa ini sehingga membiaskan realita yang ada, namun dilain pihak masyarakat kurang kuasa untuk menaikkan nilai tawar dalam proses komunikasi ini.
Klaim keberhasilan sepihak mendorong politikus bergaya dengan menggunakan media poster. Strategi komunikasi dengan memasang poster dalam jumlah banyak dan diberbagai tempat mempunyai tujuan untuk menstimulus alam bawah sadar masyarakat penerima pesan agar memilih mereka, sehingga tujuan komunikasi budaya politis dengan menggunakan poster sebagai medianya tidak hanya bertujuan untuk transfer pengetahuan politik untuk menyadarkan masyarakat atas hak yang dimiliki dan penyadaran masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi melalui pewakilan legislatif.
Hegemoni merupakan suatu fenomena kekuasaan yang selalu diwarnai berbagai pertarungan yang tidak pernah berhenti. Kemenangan yang dimiliki oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan dominasi terhadap pihak yang dikuasainya bersifat sementara dan memang tidak akan pernah langgeng serta selalu dalam kondisi tidak stabil . Maka, dalam hal ini, komunikasi budaya politis berupa poster merupakan wilayah pertarungan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak kelas elit politikus melawan kelas masyarakat. Dalam tataran ini bisa juga berarti elite pemegang budaya dengan budaya politis.
Yang terjadi adalah semacam kelelahan sosial atas kondisi yang dialami masyarakat, sehingga mereka cenderung pasif menghadapi berbagai aksi komunikasi aktif yang diperankan caleg. Masyarakat menganggap bahwa pesan-pesan yang terkandung dalam poster hanya merupakan replika paradoks dari realita yang mereka alami sehari-hari. Kemudian kondisi tersebut bertransformasi dalam suatu sikap ”golput”, kalau begitu apakah yang salah dengan fenomena golput, masyarakatkah? politikuskah? atau proses komunikasi budaya politis sepihak oleh elit politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar