Jumat, 19 Juni 2009

EKSISTENSI SEBAGAI INOVASI DALAM KRISIS EKONOMI GLOBAL

“kesadaran akan kekacauan dirinya,
menyebabkan manusia menjadi tragis, tetapi bukan murung”
(Albert Camus)

Pernahkah terlintas dalam benak bahwa betapa hidup ini sungguh tidak sesuai dengan harapan dan kemauan kita, mulai dari pagi saat membuka mata, sampai pada malam beranjak tidur, sungguh penuh dengan berbagai hal yang membuat kita terenyuh, terheran dan terlebih lagi “tragis”. Penuh masalah, ketidak-mapanan, konflik dan gesekan. Seakan semua itu telah menjadi warna yang menghiasi hari-hari, selalu dan selalu ada hal yang tidak kita inginkan. Tidak peduli siapapun dan kapanpun, bosan dan jenuh pasti menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidupnya, dan menjadi tonggak keberadaan diri sebagai manusia.
Sekarang mari kita telaah lagi, bagaimana yang tidak jelas dapat menjadi bagian tak terpisahkan dalam diri dan mengapa harus selalu begitu absurd dan selalu memuakkan. Hidup dipenuhi oleh permasalaha yang selalu menghiasi kedadaran kita. Dalam kontruksi kesadaran diri yang terlihat utuh dan kokoh, sebenarnya terdapat kekeroposan dan keheranan yang membuat hidup terasa makin absurd. Hal itu memang yang kita rasakan pada diri kita, namun sekarang konsep absurd tersebut akan lebih dikembangkan, menjadi lebih luas dan variatif.
Ditengah kondisi yang memprihatinkan atas yang menimpa bangsa ini. Krisis ekonomi berkepanjangan, belum pulih luka akibat krisis financial beberapa tahun yang laul sudah dihantam lagi oleh krisis ekonomi global yang diakibatkan oleh krisis properti negeri paman san, kita seakan terjepit diantara tebing-tebing tinggi yang penuh dengan batu terjal, namun itu yang harus kita lewati jika ingin sampai pada puncak tebing itu. Perlunya pendasaran atas pemikiran yang nantinya akan melahirkan inovasi-inovasi baru dan mampu mengokohkan keberadaan kita sebagai bangsa yang mandiri dan mampu berdikari.
Ketika krisis ekonomi ini telah menjadikan manusia dengan keculasan dan kecurangan tanpa nurani, beragam sikap memuakkan orang disamping kita dengan kesombongan harta untuk menginjak dan meneror kawan. Orang kaya dengan segepok uang yang tak jelas asal-muasalnya mencoba berdiri diatas perut lapar sang fakir-miskin, dengan gigi putihnya terbuka dalam terbahak-bahak ia menunjukkan bahwa betapa kuatnya kekuasaan kapital dalam hidup yang makin hari makin absurd dan memuakkan. Dengan pongahnya, mereka mengekarkan tangan yang penuh dengan lemak untuk mencengkeram harta yang dianggap akan menemani dan menolong mereka dalam situasi apapun. Jenuhkah mereka yang merasa diatas angin kebebasan uang? Tentu tidak, Karena seakan mereka dilahirkan untuk menjadi kenyang ditengah paceklik panjang nurani kemanusiaan.
Albert camus, seorang filsuf eksistensialis menyatakan bahwa terdapat konflik mendasar antara apa yang kita inginkan dari alam semesta dan apa yang kita temukan di alam semesta. Tidak ada sesuatupun yang sesuai dengan kemauan kita, biarpun kita telah berusaha mewujudkannya. Disinilah alasan utama mengapa kita harus berani bersikap atas semua kenyataan, karena tidak ada yang sempurna dan kita harus selalu berproses menuju kesempurnaan. Ditengah kondisi ekonomi yang carut marut, bukti bahwa kita masih mampu berdiri tegar dan sanggup bersikap adalah bukti nyata kemanusiaan kita.
Camus membuka pertanyaan, apakah ini terakhir kesimpulan bahwa hidup ini selalu berarti mengarah ke satu komit bunuh diri. Jika tidak memiliki kehidupan yang berarti, tidak berarti bahwa kehidupan adalah tidak pantas hidup? Camus tertarik dalam mengejar ketiga kemungkinan: bahwa kami dapat menerima dan hidup di dunia tanpa arti atau tujuan. Kondisi apapun yang tercipta harus mampu disikapi, meskipun itu adalah kepahitan mutlak dan kelelahan yang akan kita rasakan. Kita harus tetap tegar dalam kondisi apapun untuk membuktikan bahwa kita adalah manusia. Putus asa, apalagi melarikan diri adalah hal paling hina bagi harkat dan martabat manusia, apapun yang terjadi dalam Negara ini. Biarpun krisis ekonomi yang telah lama menempel dan menghantui, kita harus mampu bersikap dengan inovasi baru sebagai bukti eksistensi kita.
Atas segala keabsurdan kondisi dan situasi, kita tidak boleh menyerah, apalagi berkata bahwa kita sepakat bahwa kerusakan ini disebabkan sesuatu diluar diri kita, kita haruslah menyadari bahwa yang kita jalani sekarang adalah sebuah pertarungan harga diri dan martabat manusia, jika kita menyerah pada kondisi ini, maka kita tak ubahnya seperti pecundang yang hanya mampu meratapi kekalahan, kepahitan dan ketidakmampuannya
Jika memang seperti itu maka ada yang salah dalam diri ini, sehingga selalu saja kehendak dan kemauan menjadi hampa, seperti udara beracun “segar mematikan”. Sepertinya kotak hati ini selalu dipenuhi beragam kesalaham sistem berfikir dan menalar, nurani yang bersih dan suci tak lagi mampu mengimbangi kuatnya dorongan arus nafsu dan otoritas patriarki-rasional. Seakan kemauan dan kehendak menjadi tanpa arti ketika dihadapkan pada setumpuk realita yang membusukkan harapan, membusukkan pemikiran atas kesadaran yang mulai direduksi oleh lingkungan tempat serigala-serigala memasang wajah manis tanpa dosa.
Karena manusia hidup dengan absurd, Camus menyarankan agar manusia memelihara kesadaran tersebut. Menghadapi ketiksesuaian tidak memerlukan dengan melarikan diri atau malah bunuh diri. Namun, sebaliknya memungkinkan kita untuk hidup dengan kehidupan yang penuh semangat pemberontakan atas kenyataan yang ansurd. Inilah yang menjadi roh utama dari tulisan ini, kita tidak harus menyerah (meski tidak seekstrim bunuh diri) pada kenyataan ini, bahkan kita harus memberontak dengan segala kemampuan yang ada untuk mennjukkan bahwa kita ada dan debagai pengada yang mampu bersikap terhadap apapun pengaruh dari luar. Krisis ekonomi ini adalah tantangan nyata dalam kehidupan, apakah kita akan memilih lari atau bertarung dengan kesungguhan hati dan semangat.
Memang ada yang salah dalam realita ini, jika selalu saja usaha dan upaya yang dilakukan berujung pada kekosongan persona atas kehendak dan kebebasan. Kehampaan udara kebebasan makin memaksa kita untuk menghirup racun tirani bentukan kapitalis-borjuase, yang sebelumnya telah lebih dahulu disusupi angin ketergantungan atas ketiakmampuan kita melawan kenyataan. Terbentuk dari remah-remah feodalis pemuja kebangsawanan dan kematian yang fakir. Namun sekali lagi, ini bukan saatnya untuk berbincang tentang kepusasaan dan melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani berdiri dan menantang segala yang ada didepan kita. Krisis ekonomi ini adalah ajang pembuktian kita sebagai manusia yang berkehendak, mengada dan sebagai pengada yang produktif.
Pemberontakan lahir dari kesaksian atas sesuatu yang tidak rasional dan dihadapkan pada sesustu yang tidak adil serta kondisi yang yang tidak dapat dipahami, namun dengan naluri tanpa pertimbangan yang dimiliki pemberontakan adalah menuntut keteraturan ditengah kekacauan dan persatuan ditengan kecerai-beraian. (Camus, 1988 :40)
Sebenarnya, patutkah kita menyalahkan orang lain atas kerusakan, kebrobrokan dan keterbelakangan dalam diri kita?. Jika memang itu patut, maka kita tak ubahnya seperti keledai dungu yang terjatuh dilubang dalam tanpa usaha untuk keluar dari lubang tersebut, hanya sibuk mengumpati lubang dan mencaci nasib yang tidak pernah memihak padanya. Namun lain halnya jika menjawab tidak, yang salah dari keterbelakangan adalah kita sendiri, maka kita akan terus mencari dan berusaha menapaki dan menembel lubang yang ada.
Tentu saja tidak, kita harus menanggung ini sebagai rangkaian dari segala perbuatan dan apa yang telah kita ciptakan sebagai pengada. Karena persona yang ada dalam diri kita akan selalu menuntut untuk kita selalu bersikap dalam kondisi bebas. Kebebasan bersikap dalam bidang ekonomi merupakan salah satu bukti eksistensi kita, mampu menciptakan kondisinya sendiri dan membuat dunianya sendiri, inilah yang sering disebut sebagai mandiri dan berdikari, yang harus kita perjuangkan sebagai bukti tanggung jawab kita pada diri kita.
Karena kebebasan bukanlah hadiah yang diberikan suatu Negara atau seorang pemimpin, tetapi hak milik yang harus diperjuangkan setiap hari oleh semua orang dengan tetap memelihara kesatuan (Camus, 1988 : 77). Maka dari itu kebebasan ekonomi yang menjadai hak kita haruslah kita perjuangkan tanpa lelah sebelum kita mampu menjadi subjek ekonomi yang bebas berkehendak.
Camus mengidentifikasi tiga karakteristik yang mustahil kehidupan pemberontakan, kemurnian, kita tidak boleh menerima atau rekonsiliasi dalam perjuangan. Kebebasan, kita benar-benar bebas untuk berpikir dan bersikap seperti yang kita pilih dan inginkan. Semangat, kita harus mengejar kehidupan yang kaya dan beragam pengalaman. Dalam artian bahwa kita tidak boleh menerima kondisi krisisis ini sebagai suatu keharusan, namun kita wajib memberontak atas keadaan ini.
Pemberontakan memprotes, menuntut dan mendesak agar segala yang tidak benar segera dihentikan dan semua yang saat ini dibangun diatas pasir lunak dipindahkan keatas pondasi batu karang (Camus, 1988 :40).
Haruskah kita merendahkan diri kita dengan diam saja ketika berhadapan dengan kondisi dan keadaan yang buruk, jika itu terjadi mungkin kita harus mempertanyakan lagi, apakah kita masih pantas disebut manusia? Karena manusia adalah subjek, persona yang bebas dan berkehendak.
Perlunya pendasaran atas pemikiran yang nantinya akan melahirkan inovasi-inovasi baru dan mampu mengokohkan keberadaan kita sebagai bangsa yang mandiri dan mampu berdikari dalam percaturan ekonomi dunia. Inilah yang mengilhami tulisan ini.


Daftar Pustaka
Camus Albert, 1999, Mite Sisifus, Pergulatan Dengan Absurditas (trj: Apsanti D), Gramedia, Jakarta.
Camus Albert, 1988, Krisis Kebebasan (trj: Edhi Martono), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Driyarkara Nicolaus. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta. Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar