Jumat, 19 Juni 2009

Pemimpin Tanpa Karakter

Kepemimpinan adalah gabungan antara strategi dan karakter,
tetapi apabila kita harus memilih salah satu, maka pilihlah yang kedua.
(Jendral H. Norman Schwazkoft)

Sekali lagi, ini hanya suara dari kegelisahan yang menghinggapi seorang yang jenuh atas kondisi bangsanya. Ia berharap sesuatu lain yang dapat dijadikan penopang punggung rakyat ketika kelelahan mulai menghingapi keseharian mereka. Betapa tidak, sehari-hari mereka menjalani kehidupan berbagsa yang amburadul sampai-sampai sulit untuk membedakan kita sedang dalam lindungan Negara atau tidak, sedang dalam proses berbangsa atau tidak, sedang membangun dan mengembangkan budaya atau malah menurunkan derajat martabat kemanusiaan. Keadaan ini semakin diperparah dengan kekosongan jiwa-jiwa ponolong dan semangat maju bersama dalam kesetaraan, para pemimpin seakan telah kehilangan roh pembimbing untuk melanjutkan tanggung jawab mereka, melaksanakan amanah yang dibebankan rakyat diatas pundak mereka.
Baiklah, akan kita mulaipembahasan ini dengan menginggat masa lalu, mari sejenak kita menoleh kembali ke gelora reformasi yang pada tahun 1998 menjadi teriakan layak jual, disuarakan dan layak konsumsi untuk semua usia. Dimana suara perjuangan, pemberontakan dan kelelahan mendominasi keakutan pemikiran saat itu, dalam pemikiran mahasiswa semua bercampur aduk antara subjektifitas semangat pembaharuan dengan emosi zaman yang menjadi symbol kebangkitan bangsa Indonesia. Pada saat itu, kita hanya merubah kulit luarnya saja tanpa sekalipun menyentuh dasar filosofis perubahan Itu semua terjadi karena kita belum mempersiapkan pemimpin yang menjadi patokan dan symbol perubahan. Memang untuk kesekian kali, kita berusaha bangkit dari kelelahan total atas suatu orde, dari orde lama meloncat ke orde baru, dari orde baru meloncat ke orde reformasi, sampai nantinya kita akan menemukan bentuk sintesis yang sesuai dengan karakter dan jiwa bangsa ini.
Memang, pada setiap orde dominasi kekuasaan seakan terpusat kearah satu titik dengan ketergantungan penuh sekoci kuasa kecil pada induk pemegang kebijakan tertinggi. Sekoci-sekoci tersebut nyaman berada dalam lindungan kapal induk kekuasaan, sehingga ketika terjadi kekacauan dari kapal induk secara otomatis mereka juga langsung menerima dampaknya. Seperti itulah gambaran setiap orde yang kita lalui sebagai proses berjalan suatu bangsa. Namun, nampaknya kita perlu berefleksi total atas yang terjadi kemarin, ketika setiap perubahan yang kita perjuangkan berakhir dengan kebobrokan yang tidak kalah dengan kebobrokan yang kita robohkan.
Mengapa?
Secara de facto, kegagalan tersebut dikarenakan kita tidak mempunyai amunisi berupa pemimpin yang cakap dan pantas, karena setelah dilakukan penghancuran atas suatu tatanan, maka yang dibutuhkan adalah pembangunan baru secara berkelanjutan, dan hal tersebut hanya akan berjalan ketika pemimpin yang disiapkan untuk mengisi tempat kosong tersebut mampu menjalankan peranannya.
Perlu disadari bahwa pada saat semangat berubah dengan tanpa meggandaikan kekuatan dan kemampuan adalah sama juga bohong, begitu juga perubahan tanpa menggandaikan aspek kekontinuitas adalah percuma alias sia-sia. Kita begitu terpukau oleh bayangan masa depan sehingga cenderung melupakan bahwa pada perubahan itu sendiri butuh masing-masing persiapan sebagai batu pijakan untuk melakukan lompatan perubahan ke depan, tanpa persiapan itu, kita hanya berputar atau bahkan malah balik kucing kearah sebaliknya. Oleh karena itulah keberadaan pemimpin “the right men in the right place” sangat dibutuhkan untuk membangkitkan dan mengaktualkan kembali potensi bangsa yang sudah lama tertidur. Dan hal ini membutuhkan jiwa kepemimpinan yang mampu mengilhami pemimpin kita agar berbuat yang terbaik untuk bangsa ini, Indonesia.
Semua bermula dan berjangkar pada pemimpin yang berjiwa kepimimpinan, jiwa yang mampu mempertanggung-jawabkan sikap dan kebijakan yang telah diambilnya dengan konsekuensi positif, bukan penyikapan negatif atas kesalahan yang telah terjadi, dalam bentuk penyesalan lalu mundur dengan meninggalkan luka dan banyak cacat yang menjadi pemberat bagi langkah selanjutnya. Sekarang kita akan membahas menggenai bagaimana harusnya pemimpin, seperti apa jiwa kepimimpinan yang harusnya terdapat dalam diri para pemuka bangsa untuk dapat memicu pergerakan progresif bangsa kearah positif, hingga kedepannya mampu dilihat bayangan indah sebuah negeri yang penuh dengan tawa riah kemenangan dari para pesakitan masa lampau.
Kepemimpinan adalah suatu seni mengendalikan orang-orang dalam organisasi agar supaya perilaku mereka sesuai dengan perilaku yang diingini oleh pemimpin organisasi, dimana unsur-unsur yang bermain didalamnya adalah adanya orang dipengaruhi, orang yang mempengaruhi dan orang yang memperngaruhi mengarahkan kepada tercapainya suatu tujuan (Sunindia & Widiyanti, 1998 : 4-5).
Untuk itulah dibutuhkan kesatuan dari ketiga unsur tersebut, keharmonisan dan keselarasan. orang dipengaruhi (rakyat) menjadi lapisan terbawah dari susunan piramida negara, yang berfungsi sebagai pondasi atas bangunan diatasnya. Orang yang mempengaruhi (pelaksana pemerintahan) menjadi lapisan tengah sebagai perantara dan penghubung lapisan atas dengan lapisan yang ada dibawahnya. Kemudian orang yang memperngaruhi mengarahkan kepada tercapainya suatu tujuan (pemimpin) sebagai pengarah dan pembuat kebijakan yang selayaknya mampu mewadahi seluruh lapisan dibawahnya dan meng counter segala kemungkinan yang mungkin timbul dari susunan piramida ini kemudian mengarahkan mereka kearah apa yang menjadi tujuan utama.
Oleh karenanya pemimpin dituntut untuk memiliki jiwa beradab, sebuah keadaan kepribadian dimana prinsip-prinsip kemanusiaan dipertaruhkan, bukan hanya dalam ranah individu, namun juga merembet kearah sosial. Lebih jauh lagi mampu menyikapi kondisi dan situasi dilematis tentang keberadaan segala kemungkinan yang timbul dari gesekan antar bagian negara. Yang penting bagi kita pemimpin adalah peka terhadap munculnya alasan-alasan, mampu menganalisisnya dan cakap mengatasinya (Keating, 1988 : 65).
Presiden pertama Negara ini, Sukarno, berani bersikap dengan karakter ketegasan dan harga diri kebangsaan yang tinggi untuk menolak bantuan luar negeri yang menurutnya akan membawa dampak buruk terhadap bangsa ini. Ia menggatakan “go to hell with your aid”, meskipun itu harus dibayar mahal dengan rengangnya hubungan dengan Negara pemberi bantuan. Disini kita melihat bagaimana karakter seorang pemimpin yang berpihak pada harga diri kebangsaan dan berkemauan keras untuk menumbuhkan sikap mandiri dan berdikari pada bangsanya.
Juga diperlukan kelihaian pemimpin dalam menyelesaikan konflik internal yang terjadi akibat gesekan antar bagian dalam struktur kekuasaannya. Karena hal ini akan berakibat fatal jika tidak mampu disikapi secara arif, namun juga akan berubah menjadi suatu kekuatan persatuan jika pemimpin tersebut mampu mengolah gesekan yang muncul tadi. Sesudah ketegangan diatasi, saling kepercayaan antara anggota dapat meningkat dan kerja sama serta hasil kerja sama mereka juga tambah baik, penyelesaian ketegangan kerap merupakan gabungan untuk memecah masalah dan menggadakan konfrontasi (Keating, 1988 : 43)
Seorang pemimpin juga harus berakhlak mulia, mempunyai empati kepada orang lain (yang dipimpin), dapat menghargai dan mengikutkan mereka dalam proses bernegara, bukan hanya dijadikan sebagai aspal untuk melicinkan kepentingan sesaat pemimpin. Cukuplah kenyataan yang memperlihatkan pada kita bagaimana pemimpin yang diharapkan menjadi pengayom dan pelindung malah menjadi pagar makan tanaman, sehingga akan semakin menambah ketidak-percayaan dari mereka yang dipimpin dan pastinya akan berimbas pada kerelaan mereka untuk mengikuti instruksi pemimpin dan kesuksesan program yang telah dicanangkan sebagai kebijakan pemimpin. Dengan empati, kita (pemimpin) akan mampu untuk mengerti dan memahami seseorang (yang dipimpin) sedalam-dalamnya baik secara emosional dan intelektual (Riyana&Pamekas, 2000 : 69).
Ada sebuah serat jawa “Wulang Reh” yang ditulis oleh Sri Pakubuwono IV, didalamnya menggungkapkan bagaimana pemimpin sejati. Adalah seorang yang dapat memimpin dirinya sendiri, memimpin dengan nuraninya. Ia tidak akan mengedepankan tumpah darah, namun ia akan menggedepankan cinta dan kasih saying sebagai senjata ampuhnya (Agum Gumelar, 2007 : 10) dalam prolog buku Javanese Wishdom.
Kekayaan khazanah budaya nusantara akan nilai-nilai positif haruslah kita hargai sebagai suatu yang harus digali terus menerus-menerus, seperti dalam Wulang Reh, ternyata didalamnya hakikat jiwa pemimpin adalah seorang yang mampu menghadapi dan bersikap bijaksana, waspada, hati-hati dan mengutamakan pendekatan emosional terhadap yang dipimpin, bukan hanya itu seorang pemimpin dituntut memiliki spiritualitas yang tinggi. Dimana spiritual tersebut bermakna sebagai pembangkit dan pengayom jiwa pemimpin, ketika jiwa tersebut tidak dilatih dan dibina, maka yang terjadi adalah kesewenangan dan keinginan berdasar nafsu angkara murka. Oleh karenalah, seorang pemimpin wajib untuk membina spiritualnya sedemikian rupa untuk menjamin bahwa roh dan jiwa kepemimpinannya bersih dan murni sebagai salah satu usaha untuk tetap menjaga turunan sikap yang juga berlandaskan nilai-nilai keluhuran dan kebijaksanaan kepemimpinan.
Memang dalam menumbuhkan jiwa kepemimpinan tidak bisa sekejap, tidak semudah membalik telapak tangan, namun perlu proses pendidikan yang sangat panjang. Disinilah letak peranan yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan, dan UGM termasuk didalamnya, disini yang kita lihat lihat adalah kebijakan universitas yang kiranya dapat mendukung program besar penumbuhan jiwa kepemimpinan mahasiswa yang nantinya diharapkanmampu melahirkan pemimpin handal progresif, berwawasan jauh kedepan serta mampu melihat dan menyikapi masa depan, namun tetap dalam bingkai kepribadian sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia Indonesia. Dengan kata lain “kepala keatas ruang angkasa, namun kaki tetap berpijak dibumi pertiwi”.
Banyak kebijakan yang seakan membatasi ruang gerak mahasiswa untuk dapat mengembangkan jiwa kepemimpinan, bagaimana mungkin seorang mahasiswa mampu memenuhi tuntutan untuk mengembangkan diri dan membentuk karakter sosial jika hari-harinya selalu diisi dengan beratnya beban kuliah. Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang kuliah dengan biaya sendiri? Atau mahasiswa yang mempunyai bakat dan minat yang dalam pada non-akademis? apakah mereka dianggap bodoh, hanya karena IPK rendah, padahal disalah satu sisi mereka harus mengharus berfikir dobel untuk melanjutkan kuliah mereka.
Memang terdapat beberapa “penjahat akademis” dalam setiap angkatan mahasiswa, merekalah yang rela menjadi tumbal dari kebijakan yang dirasa memberatkan mereka, mereka ingin membentuk diri mereka seperti yang diinginkan. Memang ketika mereka melakukan itu, entah disadari atau tidak mereka pun melupakan tugas belajar untuk menumbuhkan wawasan mereka akan arti penting sebuah pendidikan formal.
Bukankah setiap kita makhluk beradab dan bermartabat atas manusia yang lain? Jika ya, mengapa harus terjadi penistaan dan penyingkiran, bahkan pembunuhan karakter.
Adakah yang salah dengan pendidikan kita, yang selalu saja menyebabkan lulusannya bermental inlander, tidak berkarakter dan tanpa jati-diri. Out-put yang dihasilkan hanya berupa sekelompok orang ber-IP tinggi yang tak jarang mempunyai kelemahan mental dan karakter. Atau mereka dengan kepandaian dan keilmuan yang diperoleh dalam tataran akademis yang hanya mampu diam melihat ketidak-mapanan dan penindasan sistem maupun ideologi penyiksa. Mereka baru akan berbicara jika itu menghasilkan keuntungan bagi kepentingan pribadi mereka.
Tidak ada salahnya kita merenung sejenak atas pokok permasalahan daripada keterbelakangan kita dan superior bangsa lain atas kita. Ketika terbesit kebodohan dalam nurani kita, cerminan tradisi masyarakat kita yang berperan dalam penghambatan perkembangan pendidikan bangsa kita dari ilmu mental jongos, buruh dan tentunya konsumtif.

Daftar Pustaka
Sunindhia, Dra. Ninik Widiyanti, 1998, Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern, Bina Aksara, Jakarta.
Erry Riyana, Hardja Pamekas, 2000, Esensi Kepemimpinan Mewujudkan Visi menjadi Aksi, Elek Media Komputindo, Jakarta.
Keating Charles J, 1988, Kepemimpinan, Teori dan Pengembangannya, Kanisius , Yogyakarta. (trj: A.M. Mangunhardjana) dari judul asli: The Leadership Book, 1992, Paulist Press, New York.
Webe Agung, 2007, Javanese Wisdom, Berfikir dan Berjiwa Besar, Penerbit Indonesia Cerdas, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar